"Tril, lo masih lama ya belajarnya? Gue mau kekantin ah laper."
"Yaudah sana." Sahut Atril, tanpa berpaling sedikit pun dari bukunya.
"Gak mau nitip?"
"Gak."
Raut cemberut tercetak diwajah Sembilan mendengar jawaban jutek itu. Ia lalu melenggang pergi meninggalkan kelas menuju Kantin. Untuk membeli jajanan guna membungkam cacing diperutnya yang sudah brutal mendemo.
Atril memperhatikan Sembilan dari balik jendela, cowo berandal itu melangkah santai menyusuri koridor yang mengarah ke kantin, dipandanginya punggung tegap itu yang semakin mengecil lantas menghilang ditikungan depan.
"Diperhatiin terus, dia gak bakal ilang ko."
Atril menoleh sesaat kesumber suara. Ia mendapati ketua kelas berdiri disampingnya dan ikut memandangi kepergian Sembilan. Anggara Adriandra.
'Apasih ni orang, tiba-tiba ngomong sama gue. sokap banget' Oceh batinnya lalu membuang muka dan beralih kembali pada bukunya diatas meja. Menghiraukan Anggara begitu saja. Atril tau siapa cowo disampingnya itu, meskipun gadis itu tak memperdulikan lingkungan sekitar, tapi eksistensi Anggara yang kuat dan paling menonjol dikelas membuat cowo itu menarik atensi penuh seluruh murid, termasuk Atril.
"Lo hebat ya." Oceh cowo itu lagi. Seakan sikap cuek dan dingin Atril tak memengaruhinya.
Atril menautkan alis bingung mendengar itu. "Apanya yang hebat?" Tanyanya datar, masih pokus pada bukunya.
Anggara yang sedari tadi menatap keluar jendela beralih menatap Atril. "Hebat karna mampu bikin Sembilan bertekuk lutut."
"Gue gak bikin dia bertekuk lutut." Sangkal Atril.
"Ya secara harfiah emang enggak, cuma dengan lo bisa ngejadiin dia temen lo, dan buat dia nurut sama perkataan lo, itu termasuk kedalam menaklukan." Tutur Anggara. Ada sesuatu yang aneh, cowo teladan yang menjabat sebagai ketua kelas itu seakan kenal dengan Sembilan.
"Ngaco, mana ada." Kilahnya lagi.
"Lo tuh dimata semua orang udah kaya pawang singa tau."
Atril kembali mengerutkan dahi bingung. "Yang lo maksud singa itu Sembilan?"
Anggara menjrentikan jari sambil berseru. "Iyap!" Membenarkan ucapan cewe itu.
"Padahal Sembilan tuh ga seserem itu." Komentar Atril. Menyandarkan diri pada kursi dan mengangkat bukunya sejajar dengan wajah.
"Gue tau, dia baik, cuma dia takut sama orang lain, karna itu dia berusaha buat nakutin semua orang supaya dia jauh dari apa yang dia takutkan."
Atril membisu sembari mencerna perkataan Anggara yang terasa sangat tepat. Tapi kenapa juga ia harus mendengarkan cowo asing yang tiba-tiba sokap ini? yang tiba-tiba mengoceh disampingnya tanpa permisi? Ah sudahlah, Atril memutuskan membiarkan saja Anggara mengoceh semaunya.
"Dia menciptakan dinding penghalang, untuk memisahkan dirinya dengan orang lain. Dan untuk merobohkan dinding itu, sama sekali gak mudah." Anggara memandang lurus kedepan kebalik jendela, yang kini menampilkan Sembilan yang keluar dari tikungan koridor, membawa keresek yang penuh dengan berbagai macam jajanan digenggaman tangannya. Cowo itu menyusuri koridor sembari menatap sangar kepada sesiapapun yang berpapasan dan meliriknya. Sontak hal itu membuat orang-orang menjauh dan waspada ketika melewati cowo tukang onar itu.
"Dan lo termasuk hebat karna berhasil menghancurkan dinding itu. Ga semua orang mampu menghancurkan dinding itu dan menerima sikap manis dan baik Sembilan." Lanjut Anggara, setelah menjeda ucapannya beberapa saat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembilan
Teen FictionNamanya Sembilan, dia aneh persis seperti namanya. Ia mampu membuat orang masuk UGD dihari pertamanya masuk sekolah. Sikapnya yang susah diatur, sangar dan begajulan itu membuat seantero sekolah takut padanya. Belum lagi tingkah ajaibnya yang acap k...