18. Tentang Sembilan

105 49 267
                                    

"Kamu akan tinggal bersama saya mulai hari ini."

Sembilan mendongak dengan mata sembabnya, kentara sekali habis menangis hingga air matanya terkuras habis tak bersisa. "Om siapa?" Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkannya ketika seorang Pria berjas hitam mendatanginya tepat setelah beberapa jam pemakaman sang Nenek berlalu. Berlatar tempat dirumah almarhum nenek, dengan suasana berkabung duka waktu itu.

"Saya ayah kamu."

Pernyataan ketus itu menjelma secercah kehangatan untuk dinginnya hati Sembilan saat itu. Cowo malang itu menghampiri ayahnya. "Jadi Om, ayah aku?" Tanyanya, ada nada haru dilontaran pertanyaannya. Bersama seulas senyum manis yang terlihat hidup.

Sembilan merentangkan tangannya, mata sayunya berkaca penuh kerinduan. Berniat memeluk sang ayah yang tidak pernah ditemuinya itu.

"JANGAN SENTUH SAYA!"

Sembilan tersentak. Secercah harap dihatinya mendadak lenyap. Ia membatu, memandang ayahnya dengan wajah terkejut. Senyum yang tadi tersungging melorot begitu saja.

"Jangan pernah kamu berani menyentuh saya dengan tangan kotor kamu itu!"

Sang ayah menatapnya penuh benci. Kobaran amarah, berkilat dimata hazel milik ayahnya yang serupa dengan miliknya itu.

"Maksud papa?" Sembilan masih tak mampu mencerna situasi saat itu. Ia tak mengerti, yang diharapkannya ketika bertemu sang ayah adalah pelukan hangat dan sambutan riang, namun apa kini yang didapatnya?

"Ibu saya gak pernah memberitahu kamu?"

"Ngasih tau apa?"

"Bahwa saya sangat membenci kamu."

Sembilan mencelos mendengar itu. Hatinya yang patah kini remuk redam tak tersisa. "Tapi nenek bilang, ayah sayang banget sama Ilan," lirihnya, berharap perkataan ayahnya tadi tidak sungguh-sungguh. Berharap ayahnya hanya melempar lelucon lalu setelahnya akan tertawa sambil memeluknya erat. Menyiratkan rindu yang sama bukan kebencian disepasang matanya.

"Jadi ibu selama ini mencecokimu dengan bualan itu? Dan kamu selama ini percaya?" Pria itu tertawa keras, namun terdengar begitu menyakitkan untuk Sembilan. "Pikir saja! Jika saya menyayangi kamu, kenapa sejak kamu lahir, saya membuang kamu? Dan sekalipun tidak pernah menemui kamu?" 

Harus berapa kali lagi jiwanya diruntuhkan seperti ini? Sembilan merasakan kakinya melemas. Tak mampu lagi menopang beban nelangsa yang kini menghantamnya bertubi-tubi. Sembilan jatuh berlutut dihadapan ayahnya. Air matinya luruh lagi, binar dimatanya redup lagi, kali ini benar redup. Benar-benar mati. Lantai putih menjadi saksi bisu betapa menyakitkannya air mata Sembilan yang jatuh saat itu. Betapa dalam luka yang didapatnya dihari itu.

Pria tadi berbalik badan. "Menyedihkan." Ujarnya, seraya berderap menjauh. "Cepat kemasi barang-barang kamu, kita akan segera pergi dari sini. Dan perlu kamu ingat, saya sudi melakukan ini semua semata karna wasiat ibu yang meminta saya mengurusi kamu."

Merunggut nenek dari hidupnya nyatanya tak cukup membuat semesta puas memberinya derita. Ia pikir, sang ayah adalah obat dari semesta. Rumah barunya untuk berpulang setelah perginya nenek kemarin sore. Tapi kenyataannya, ayah adalah luka lain yang dikirim semesta untuknya, lara barunya yang kini membuat ia kian tersiksa dan sesak untuk menghirup udara didunia.

Sebulan berlalu, Sembilan hidup dirumah mewah ayahnya. Didaftarkan sekolah disebuah SMA bergengsi impian banyak orang. Namun semua itu tak membuatnya bahagia. Orang pikir Sembilan adalah remaja beruntung yang terlahir sebagai anak konglomerat kaya raya. Nyatanya tidak.

Semua orang tak tau betapa dingin ayahnya dirumah. Betapa setiap hari ia tersiksa dengan sikap ayahnya. Yang tidak pernah mengajaknya bicara, menanyai keadaannya apalagi memberinya cinta seorang ayah. Tiap hari dilalui dengan rasa canggung, sepi membelenggu, seakan bisu tak ada yang mampu membuka mulut lebih dulu. Tak pernah ada percakapan hangat layaknya ayah dengan anaknya apalagi saling menukar canda dan cerita. Semua hanya dalam angan belaka. Rumah mewah nan besar itu menjelma penjara untuk Sembilan. Ia tak tahan, setiap harinya ia merasa mati berkali-kali. Ia ingin kabur, rumah barunya terasa begitu pilu dan menyesakan.

SembilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang