Selasa hari ini ditemani awan abu, di sore hari. Firasat Hasan mengatakan kalau dia melajukan motornya lebih jauh lagi, bisa jadi dia akan diterjang hujan besar, jadi lelaki yang mempercayai eksistensi putri duyung ini pun memilih untuk meneduh, meminggirkan motor kesayangannya—yang dua bulan lagi lunas kredit ini.
Hari ini dia merasa sial sekali. Minggu lalu dia diputuskan oleh sang kekasih, padahal dia yang diselingkuhi. Belum puas menyakitinya begitu, prempuan itu juga berkata, "Kamu mikir dong, kalau ada yang lebih dari kamu buat apa aku bertahan sama kamu?" padahal sebelum itu, alangkah baiknya dia menyudahi lebih dulu, dibanding harus besembunyi sampai memaki kekurangan Hasan begitu.
Akibat kejadian itu, Hasan jadi kurang fokus. Pekerjaannya berantakan, sampai dia harus mengulangi beberapa kali. Bahkan kakinya masih terasa nyut-nyutan karena kemarin disprempet mobil, mana mobilnya yang minta ganti rugi lagi.
Teman-teman Hasan merekomendasikan Hasan untuk istirahat dulu, tapi bagaimana bisa dia bersantai saat dunia memburunya.
Dia masih punya dua adik yang bersandar di punggungnya. Semenjak kecelakaan bapak jadi lumpuh, kedua kakinya tak bisa digerakan, sementara ibu tidak banyak yang bisa dia lakukan di usia senjanya. Kadang tanpa sepengetahuan Hasan ibu menjadi kuli cuci, dengan alasan ingin meringankan beban Hasan walau hanya sedikit.
Rencananya beberapa bulan ke depan Hasan akan menikah dengan kekasihnya, namun takdir berkata lain. Mungkin Tuhan ingin Hasan lebih fokus pada keluarganya saja, dibanding membangun keluarga yang kelak akan menjadikannya kepala keluarga.
Di mata keluarga, Hasan adalah sang anak sulung yang pekerja keras. Bukan Hasan yang kuat, kadang punggungnya pun bergetar hebat, diguncang kegundahan akan hari esok, atau sekedar cape.
Dia sekarang agak relate dengan lagunya Al, El, Dul, yang liriknya, "Aku bukan lah supermen, aku juga bisa nangis, jika kekasih hatiku pergi meninggalkan aku."
Entah wajahnya yang ketara banyak masalah atau sedang patah hati, seorang bocah pengamen bermodalkan kecrekan langsung datang menyanyikan lagu itu.
"Ayahku tersayang, maafkan lah aku jika aku masih menangis, masih belum bisa menjadi seperti apa yang ayah selalu mau."
Hasan menaruh ponselnya, memperhatikan bocah yang dihiraukan orang-orang ini. Umurnya mungkin masih SD, dari perawakannya dia seperti adik bungsunya yang masih kelas empat SD.
Bocah sekecil ini berada di jalan, untuk apa? Bermain atau bekerja? Bajunya lusuh, wajahnya kusam, kenapa orang tua atau keluarganya membiarkan anak ini di jalanan? Begitu banyak yang Hasan pikirkan, namun ia memilih diam dan memberikan uang sepuluh ribuan untuk anak itu.
Dia ingat Keisya, adik bungsunya pernah bercerita, "A, di sekolah atau kalo lagi main Kekey sering ditanya-tanya sama mamanya temen-temen Kekey."
"Ditanya apa?"
"Pekerjaann bapak, terus pas kekey ceritain bapak sakit sampai gak bisa kerja lagi, ibu-ibu itu diem, ngelus kepala Kekey, bikin Kekey sedih."
Hasan termenung. Tidak semua cerita sedih bisa diceritakan dengan enteng pada seseorang, hanya karena ditanya. Dan baginya perhatian atau empati bisa tersampaikan dengan tulus, tanpa harus tahu cerita dibaliknya.
Hujan yang semula grimis kecil, kini mulai membesar disertai angin. Hasan teringat dengan rumah, pasti sekarang ibu dan adik-adiknya sedang sibuk menampung bocoran air hujan. Maklum saja, rumah itu sudah tua dan tidak pernah direnovasi.
Diingat-ingat, Hasan jarang sekali istirahat. Dari subuh sampai sore dia habiskan dengan bekerja, sampai rumah dia membantu adiknya mengerjakan pr atau sekedar mendengarkan mereka bercerita. Kadang sepulang bekerja dia juga memasak atau membersihkan rumah, mengingat ibunya yang mulai gampang kelelahan.
Hujan masih saja besar, walaupun Hasan sudah menunggu selama beberapa jam. Sebagian orang-orang yang meneduh di sana memilih untuk menerobos hujan, tak sabar ingin segera sampai.
Tidak terlalu banyak orang di sini, namun eksistensi seorang nenek yang pakaiannya basah kuyup membuat Hasan menaruh perhatiannya di sana. Nenek itu membawa dua keranjang besar, entah apa isinya itu, tapi si nenek terlihat seperti sedang melindungi keranjang itu.
Jarak mereka tidak terlalu jauh, keduanya sama-sama sedang meneduh. Hanya perlu beberapa langkah sampai Hasan sampai di samping nenek itu. Dilihat dari dekat, Hasan baru menyadari sendal capit nenek ini pun sudah terputus, hanya disambung oleh tali rapia.
"Bu, punten..." Hasan menyapa, sebisa mungkin memperlembut suaranya. "Ibu jualan?"
Bibir nenek itu merekah, memperjelas kerutan di pipinya. Dengan tangan bergetar, dia mengelus tutup keranjang itu. "Muhun Jang, ibu jualan kue. Aya cucur, burayot, putri noong, naga sari, bugis, sareng putu ayu."
"Masih banyak ibu?"
"Masih banyak... Ibu jualan dari pagi baru laku dua," jawab ibu itu sembari tersenyum. "Hujan, jadi ibu gak bisa jualan lebih jauh. Gak kuat sakit kakinya kalau hujan."
Mendengar cerita itu, Hasan pun langsung teringat ibunya. Hasan selalu merasa gagal setiap melihat ibu kesusahan, bukannya Hasan tidak ingin ibu istirahat saja, tapi apa mau dikata, kekuatannya masih kurang untuk melawan dunia. Dan mungkin, keluarga nenek penjual kue ini pun sama dengannya.
Setelah hujan reda, Hasan mengantarkan nenek ini pulang, dia juga membeli semua kue sisa dengan uang yang tadinya akan dia gunakan untuk makan malam, sekaligus bekalnya beberapa hari kedepan. Tak apa, sudah lama juga bapak, ibu sama adik-adik gak makan kue seperti ini.
Hujan hari ini mungkin jadi tanda kasih sayang Tuhan untuk Hasan, si anak sulung yang sering lupa istirahat. Dia juga dipertemukan dengan orang-orang yang membuatnya lebih bersyukur, menyadari bahwa Tuhan tak mungkin memberikan ujian yang tidak bisa dilewati hamba-Nya.
.