Tarik napas

9 1 0
                                    

Hiruk pikuk jalanan ibu kota menjelang malam, selalu dipadati oleh kendaraan-kendaraan yang tak pernah sabar menghadapi padatnya jalan. Mereka berlomba-lomba memencet klakson, kala sang roda tak bisa menggelinding menyusuri jalanan, membuat sebagian orang mungkin kesal atau bahkan stres menghadapinya.
    
Diantara banyaknya manusia berkendara yang kesal, terdapat seorang prempuan yang mengandalkan kakinya untuk menyusuri bumi. Kaki itu sudah nyeri, bahkan bagian belakang dan jari keligking kakinya sudah berdarah akibat lecet menggunakan sepatu pentopel yang dia beli di pinggir jalan.

Pikirannya sibuk melafalkan banyak makian, usai sadar hasil jerih payah hari ini bisa saja mengecewakannya lagi.

Prempuan bernama Rena ini menyimpan harap pada wawancara kali ini, tapi yang dia lakukan malah mengacaukannya.

Harapan tinggi tentang pekerjaan yang akan dia dapatkan, harus gugur begitu orang tadi membuka mulutnya sembari melihat selembaran yang diberikan Rena. "Orang tua kamu gimana sih, masa anak gak disekolahin gini... Jadi susah nyari kerja, kan."

Mendengar itu, tentu saja Rena kesal dan tanpa pikir panjang langsung keluar ruangan, membanting pintunya sekeras mungkin. Orang itu bahkan tidak tahu bagaimana kisah keluarganya, tapi sudah langsung mengecap jelek orang tua Rena hanya karena pendidikannya yang terputus di bangku smp.

Sebenarnya Rena tahu, melamar kerja dengan ijazah sd tidak akan membuahkan hasil tinggi yang dia inginkan. Meski dia yakin isi otaknya lebih pandai—atau sebanding dengan anak lain yang pendidikannya lebih tinggi, tapi siapa yang peduli? Orang-orang hanya percaya apa yang mereka lihat, dan kebetulan kepandaian yang terlihat itu berbentuk angka di kertas bernama ijazah.

Langkah gontai gadis ini terhenti di pinggir jalan, terduduk di sana guna mengecek kakinya yang semakin perih. Decakan pun lolos dari bibirnya, begitu melihat darah yang menempel di sepatu.

Ini hal yang sudah Rena prediksi. Harusnya dia menyisipkan sedikit lagi uangnya untuk membeli kaus kaki. Tapi jangankan kaus kaki, ongkos angkot saja dia tidak punya. Uangnya habis dipakai beli baju wawancara yang dia pakai, dan sekarang Rena pikir segelas air minum lebih berguna daripada baju ini.

Nafasnya berburu, sedangkan dadanya berusaha mengatur nafas yang masuk dan keluar. Menaik lalu menurun, membuat orang yang melihatnya prihatin dan dapat menebak kalau gadis ini kelelahan. Lebih tepatnya sih, Rena lelah dengan hidup.

Sembari menatap langit jingga yang cahayanya mulai menggelap, Rena berpikir...

Kalau mati hari ini, gimana ya?

Karena hidup bukan hal menyenangkan bagi Rena.

Dia menapakan kaki di bumi, tapi kehidupan seolah memunggunginya. Hidup itu bukan sekedar bernapas, kan?

Yang Rena mengerti, hidup itu ketika dia bisa merasa tenang dan senang. Memang manusia lahir dengan beban yang harus dipikul, tapi kalau beban itu menindihnya, bagaimana?

Bapak pernah berkata, "Ren, kalau manusia dikasih beban, berarti itu artinya Tuhan percaya kamu kuat." Mengingat kalimat itu lagi, membuat Rena tersenyum geli. Kalau begitu, kenapa dia gak jadi atlet angkat beban aja ya? Kan lumayan kalo dapet mendali emas bisa dia jual.

Mengingat omongan ayah seketika membuatnya rindu rumah. Segera dia bangkit dari duduknya, kembali menyelusuri jalanan tanpa peduli nyeri di kaki. Dia masih punya tujuan, jadi Rena harus pulang.

Rumah itu bukan rumah besar nan mewah, namun setidaknya Rena harus bersyukur karena dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk tempat huniannya.

Rumah ini hasil warisan dari nenek, jadi maklum kalau agak reyot. Laju bus yang menabrak bapak lebih cepat datangnya, dibanding uang untuk renovasi rumah yang bapak kumpulkan.

That storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang