Pagi ini hujan gerimis menyapa lembut, dengan udara sejuk menembus kulit keriput Marya yang tengah duduk di kursi rodanya.
Wanita sepuh itu menatap lurus ke arah luar, berharap seorang dengan kendaraannya datang menghampiri sembari tersenyum hangat. Tapi yang dia temui, hanya angin yang menyapa kekosongan.
Matanya terpejam, menghirup udara pagi ini. Dia tidak tahu sampai kapan dia bisa menghirup udara seperti ini. Umurnya selalu bertambah setiap detik, beriringan dengan kekhawatiran takut berpisah dari yang dicinta.
"Bu.." satu suara itu menyapa gendang telinga Marya, membuatnya terkesiap mengira itu suara dari orang yang dia rindu.
Nafasnya terhembus, saat menatap sosok wanita muda berpakaian putih lah, yang memanggilnya. Dia sedikit kecewa.
"Masuk yu, bu. ibu harus sarapan. Udara di luar juga kurang bagus," ucap wanita muda yang berprofesi sebagai perawat itu.
Marya mengangguk lemas, mengizinkan perawat itu membawanya masuk ke dalam.
"Keluar! Keluarkan!!"
"Heiiii Farhan kamu suka aku, kan? IYA KAN?!"
"Hello permisraaa.."
"Ckiiittt!!! Stop!" Kursi roda Marya terhenti saat sosok lelaki berbaju pasien itu menghentikannya. "Kamu ditilang. Ditilang ya.. Ngerti ga? Ngerti ga?!"
Dua pemuda berbaju putih datang, langsung memegangi kedua tangan lelaki tadi. Mereka membawanya pergi dari hadapan Marya meski lelaki itu membrontak dan berteriak kencang.
"Hayu bu.."
Marya memegangi tangan perawat yang mendorong kursi rodanya, membuat perawat itu menghentikan laju kursi roda, lalu bertanya "Ada apa, bu?"
"Saya mau tidur aja. Kepala saya pusing," pinta Marya kepada perawat.
"Tapi ibu belum sarapan."
"Tidur sebentar saja, ya?"
"Tapi nanti ibu harus makan ya."
Marya tersenyum untuk menjawab permintaan perawat itu.
...
Langit-langit putih menjadi pusat utama penglihatan Marya. Wanita itu tidak terlalu mengantuk, dia hanya butuh ketenangan setelah merasa kecewa kesekian kalinya.
Dia masih ingat bagaimana dulu dia berakhir di tempat ini. Marya ingat, bagaimana dia kebingungan tentang alasan kenapa mereka menyimpan Marya di tempat ini.
Marya juga ingat saat dia mendengar anak dan suami anaknya bertengkar, membicarakan banyak perihal, terutama tentang Marya.
Pertengkaran yang tidak dikira bisa sefatal ini.
"Mamah kamu itu ga normal!"
"Jaga omongan kamu mas!"
"Jaga omongan apa? Aku bicarain fakta. Emang kamu buta? Kamu tuli? Kamu ngeliat kan, setiap mamah ketawa atau senyum sendiri sambil ngobrol sama tembok?"
"Mas. Mama itu lagi terpukul, dia habis kehilangan suaminya. Papah aku habis meninggal, dan kamu sekarang bilang mama ga waras?"
"Iya, mamah kamu ga waras karena stress ditinggal suaminya. Aku ga mau tinggal bareng dia di sini. Sekarang kamu pilih, pisah dari aku atau pisah dari ibumu? Kalau kamu pilih pisah sama aku, kamu tahu jelas siapa yang aku bawa."
"Mamah kamu juga butuh tenaga orang rumah sakit jiwa."
Rani--anak perempuan Marya-- menangis, badannya sudah tidak mampu menopang berat. Dia berlutut sembari menangisi yang terjadi. Sedangkan suaminya membanting pintu, entah kemana.