Baby you should go and love yourself

24 2 2
                                    

Dinda menarik nafas panjang, menyesap kopinya. Raut bosan jelas tergambar di wajah gadis ini, tapi seorang di samping tidak mau peduli, dan meneruskan obrolannya bersama teman-teman yang kelihatan asik sekali.

Dimas Adipramana, seorang lelaki di samping Dinda yang dari tadi asik mengobrol tentang hal yang tidak Dinda mengerti, dengan teman-temannya ini, adalah kekasih Dinda sejak satu tahun lalu. Tadi malam lelaki ini bilang pada Dinda, hari sabtunya tidak bisa dipakai pergi berduaan seperti yang biasa mereka lakukan, karena Dimas ingin berkumpul dengan temannya yang sudah lama tidak berkumpul.

Merasa sabtunya akan suntuk tanpa Dimas, Dinda pun kukuh ingin ikut serta walau Dimas sudah bilang, acara seperti ini akan membuatnya bosan. Tadinya Dinda pikir dia bisa membaur dengan topik yang orang-orang ini lempar, tapi ternyata salah. Dinda sama sekali tidak mengenal topik otomotif yang mereka bicarakan.

"Dim, udah lama lo ga modif motor lagi," ucap seorang berambut gondrong yang sempat mengenalkan diri bernama Jiro, pada Dinda.

"Eugh.." Dimas tersenyum kikuk, menggaruk tengkuknya sambil melirik Dinda sebentar. "Gue mikirnya itu buang-buang uang. Motor kan yang penting bisa jalan aja udah. Bener ga?"

Jiro menaikan pundaknya dengan halis menekuk. "Why not? Lo cari uang buat apa? Ga salah sekali-kali nyenengin diri sendiri. Ya anggap aja itu apresiasi yang lo lakuin buat diri sendiri, setelah cape cari duit."

Apa yang dikatakan Jiro itu benar, Dimas membenarkan semunya. Tidak ada yang salah dengan menyenangkan diri sendiri, tapi mungkin bagi Dinda itu salah. Gadis itu selalu marah setiap Dimas mengeluarkan uang untuk hobinya, katanya uang itu lebih baik dikumpulkan untuk menikah nanti bersamanya. Di depan Dinda, Dimas mana mungkin bisa menyuarakan persetujuannya, jadi dia pun hanya tersenyum kecil sembari meminum kopinya.

Obrolan tentang modif motor terus tersambung, walaupun Dimas tidak menjawab tapi temannya yang lain ikut menanggapi sampai topik ini berkepanjangan. Dimas tertawa, sesekali menepuk tangan saat temannya menceritakan kisahnya yang ditipu online shop, saat akan membeli perintilan motor. Berbeda dengan Dimas yang cekikikan, Dinda hanya diam sembari memainkan ponselnya. Akhir pekannya tetap suntuk walaupun dia mengikuti Dimas.

Dimas dan teman-temannya menghabiskan waktu berjam-jam untuk sekedar mengobrolkan hal yang membuat Dinda pusing dan bosan, sampai Dimas menjadi kandidat pertama yang meminta izin pulang, setelah empat jam mengobrol. Selama perjalanan menuju parkiran, Dinda kebanyakan diam dengan wajah cemberut, berbeda dengan Dimas yang nampak berseri.

Dimas yang tadinya akan memakaikan helm pada Dinda, mendadak menggerutkan kening begitu sadar ada yang aneh dari ekpresi gadis ini. Belum sempat Dimas bertanya, Dinda sudah lebih dulu bersuara, "Temen kamu itu ga baik."

"Hah?"

"Bisa dibilang temen kamu itu toxic. Mereka mungkin udah berpenghasilan lebih, makanya bisa foya-foya buang uang buat modif motor dan  lain-lain. Kamu kepengaruh sama mereka, kan?"

"Maksudnya?" tanya Dimas, menyimpan kembali helm di tangannya pada motor.

"Ya gitu.. Mereka jadi salah satu yang ngebuat kamu hambur," ucap Dinda, mulai menggeggam tangan Dimas. "Kan kamu tahu, kita ga mungkin gini terus. Aku butuh kejelasan, daripada kamu kepengaruh buang-buang uang kaya mereka, sampai kamu lupa nabung buat masa depan kita, mending kamu jauhin aja mereka, ya?"

"Din," Dimas melepas kaitan tangan Dinda di tangannya, dia kembali mengambil helm lalu memakaikannya pada Dinda. "Kamu ga usah khawatir sama temen-temen aku. Lagian kan kamu juga tahu, aku udah jarang begitu."

"Aku ga suka sama temen-temen kamu."

Dimas menghela nafas panjang, sedikit mengacak-ngacak rambut sendiri lalu memakai helmnya, memilih menaiki motor dan membawa gadis ini pulang, daripada menjawab pernyataan yang entah harus dijawab apa itu. Sepanjang perjalan mereka hanya diam, diberisiki suara jalanan juga deru kendaraan. Berbeda dengan tadi, kini raut wajah Dimas kusut, tak kalah suram dari ekspresi cemberut Dinda. Bahkan sampai mereka sampai di rumah Dinda, mereka tetap diam. Gadis itu turun dari motor, menyodorkan helm sampai diterima Dimas, lalu pergi memasuki rumah tanpa sepatah kata pun.

That storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang