Kalau ditanya diantar cewe dan cowo, siapa yang lebih berperasaan sampai bisa menyimpan kebencian bertahun-tahun, mungkin kebanyakan orang akan memilih cewe sebagai jawabannya.
Tapi bukan berarti cowo gak punya perasaan. Buktinya gue, seorang lelaki tulen 26 tahun bernama Sadam Pandu Ismoyono yang sekarang punya cafe sendiri bernuansa vintage yang sering diartikan kolot sama si gak punya selera, Sangga Arnawarma temen gue.
Sosok cowo yang gak punya selera itu lagi nongkrong di cafe gue yang katanya kolot, selama 30 menit. Ngapain? Ngegalau lah! Selain gue, si gak punya selera ini pun jadi bukti bahwa cowo juga punya perasaan. Bahkan si gak punya selera ini gue rasa cocok jadi maskot goblok karena cinta. Gimana engga? Bertahun-tahun lalu diselingkuhin sampai sekarang mantannya mau nikah sama selingkuhannya, dia masih ada punya waktu buat ngegalau. Masih aja merasa cewe itu istimewah.
"Lo sendiri gimana Dam? Lo masih jomblo karena gak bisa moveon juga, kan? Gak susah sibuk goblok-goblokin gue deh..."
Gue seketika tersentak, terpelatuk, tersambar, dan terkejut saat si gak punya selera Sangga Anawarma tiba-tiba bawa masalah gue saat kita lagi bahas betapa ngenesnya hidup dia. Emang ya manusia gak terima gitu kalau gak mencaci balik.
Berdehem singkat, gue pun melipat tangan di dada, berusaha menyembunyikan keterkejutan gue akan topik ini dengan cara sok cool—tapi gue emang cool sih— dan bersender di punggung kursi. "Dih, ngomongin siapa lo? Sorry ya, gue sih gak kaya lo."
"Iya gak kaya gue, lo lebih dari gue." Mahluk gak punya selera itu menyeruput kopi gratisnya lalu melanjutkan, "Lebih ngenes."
Sebenernya gue pengen siram dia pake minuman di hadapan gue ini, kaya sinetron-sinetron waktu mergokin plakor. Tapi yaudah lah, omongan dia walaupun gak mau gue akui tapi ada benernya juga.
"Eh... btw Dam, kalau sampai ketemu lagi sama si Visha lo bakal gimana?"
Gue diam. Setengah membayangkan kejadian itu, setengah lagi bernostalgia pada sosok yang barusan disebut Sangga. Namanya Vishaka Chandramaya, anak bapak Agah Sutresna. Gue masih hafal nama lengkap dia sekaligus nama bapaknya, karena gue pikir mungkin suatu saat bakal gue sebut di depan para saksi dan penghulu. Ya... masa depan emang gak pernah bisa kita tebak, jadi saat Vishaka gak jadi milik gue lagi, gue bisa apa? Itu yang takdir.
Vishaka bukan cewe yang gampang jatuh cinta—dia pernah bilang begitu sama gue, dan gue yakini itu sebagai kebenaran. Kepergian Visha dari dunia gue bukan karena dia jatuh cinta lagi sama cowo lain, dia cuma... Ingin yang lebih.
Gak peduli berapa ton kasih sayang yang gue beri, rasanya Visha tetap akan mencari yang lebih, karena hidup Visha bukan tentang kasih sayang. Nyatanya, manusia hidup butuh kepastian untuk masa depan, dan kepastian yang jelas dimata Visha berupa materi. Gadis itu selalu berpikir jauh ke depan, sampai dia kurang menikmati masa yang sedang dia jalanin. Jelas keadaan gue saat itu sangat kurang untuk menjawab resahnya tentang masa depan, jadi ya... Dia pergi mencari seorang yang bisa menjawab dan menutupi resahnya.
Gue berkali-kali mencoba mikir kalau visha itu jahat, biar mulus jalannya moveon. Tapi ternyata merubah rasa cinta jadi benci itu gak gampang. Rasanya setiap gue berpikir tentang Visha jahat, seperti ada dua kubu di dalam diri gue yang berlawanan. Konsepnya kaya debat mata najwa gitu.
"Sadam..." panggil Sangga—gue udah cape manggil dia pake sebutan 'si gak punya selera'—
"Jangan buang waktu lo buat ngebenci seorang yang nyadar gak nyadar, jadi alesan lo berkembang sejauh ini."
Gue diam, memilih meneguk kopi buatan Lucas—barista di cafe gue, tapi jujur gue lebih suka manggil dia tukang kopi.
Memang benar setelah Visha pergi dengan alasan itu, gue jadi punya kekuatan sejenis dendam untuk membuktikan kalau gue mampu. Gue sering koar-koar ke temen gue—terlebih ke Sangga— kalau gue benci cewe itu, tapi sejujurnya jauh di dalam hati gue, gue juga merasa berterimakasih.