Malam ini masih gundah

23 7 4
                                    

Setelah warna oranyenya pudar, kini langit berganti warna jadi gelap. Disambut riuh oleh perasaan tak tenang.

Malam itu bintang atau bulan nampak tak hadir bersinar, mungkin sedang lelah atau mungkin mereka sedang merasakan hal serupa dengan Arjani.

Bila malam tiba, gadis ini mulai terselimuti rasa takut yang tak bisa ia kontrol. Rasanya selalu sama, tak peduli berapa kali Arjani berusaha melawan. Di jam malam, dunia Arjani sama seperti matahari yang tenggelam dan tak nampak.

Sesuai dengan namanya yang memiliki arti kegembiraan, ia hanya ingin gembira. Dia tak ingin mencemaskan masa yang akan datang, dia tak ingin badannya menggigil, takut bila pintu rumah itu ada yang mengetuk.

Usianya sudah 20 tahun, tapi tidak banyak yang bisa dia lakukan. Bahkan dia sering mendengar para tetangga mengecap dirinya sebagai anak tak berguna, hanya karena di usianya yang sudah dewasa ini, ia belum mendapat pekerjaan.

Arjani yang ada di mata para tetangga, hanya Arjani yang bisa diam di rumah tanpa usaha untuk meringankan beban orang tua. Mereka pikir, Arjani hanya seorang yang Tuhan titipkan sebagai ujian untuk keluarganya. Mereka bebas berpikir apapun tentang Arjani, karena setiap orang memiliki kacamatanya sendiri. Tapi apa pernah mereka mau melihat melalu kacamata Arjani?

Rasanya muak. Bukan hanya para tetangga yang membenci Arjani, tapi dirinya sendiri juga. Apa yang bisa kita lakukan, saat dunia seakan berhenti berputar untuk kita? Kalau diciptakan sebagai robot, Arjani pasti memilih opsi off dari kehidupan ini. Tapi sayang sekali, yang bisa dia pilih saat menjadi manusia hanya menjalani hidup. Tidak peduli susah atau senang, hidup tetap harus berjalan selama nafas masih terasa.

Kalau boleh menawar, Arjani pasti akan menawarkan diri untuk menggantikan ayah berpulang pada sang pencipta, dua bulan yang lalu. Kalau permintaannya akan terkabul, Arjani pasti akan meminta kehidupan yang lebih bahagia dengan apa yang dia punya. Tak usah mewah, Arjani hanya ingin tenang, tidak seperti malam ini.

Kakinya bergetar, pandangannya menunduk menatap lantai dingin yang ia duduki. Di sebrang sana ada seorang yang daritadi mengoceh mengenai jumlah hutang yang dipinjam ibu. Semenjak ayah meninggal, ibu mati-matian mencari pinjaman uang untuk menyambung hidup, sampai terpaksa berurusan dengan lintah darat.

Hutang ke warung, hutang sewa rumah, sampai hutang sekolah yang belum dilunasi padahal sudah 2 tahun Arjani lulus, semua itu mejadi beban yang dipikul dan dipikir setiap hari. Ibu sekarang bekerja sebagai asisten rumah tangga, dengan penghasilan yang hanya cukup untuk membeli beras dan beberapa butir telur untuk makan yang terasa mewah.

"Ibu kalau terus menunda-nunda bayar, bunganya semakin gede loh bu. Semakin susah nanti bayarnya," Wanita berambut pendek yang menggunakan banyak perhiasan emas itu bicara, menunjuk-nunjuk buku catatan berisi nominal hutang ibu.

Sementara ibu hanya menunduk dengan kedua tangan saling terkepal di atas pangkuan. "Iya... Nanti saya bayar."

"Nanti itu kapan? Nanti kalau ibu udah mati?" Wanita yang setahu Arjani bernama Ci Melan itu berdecih, memijit ujung halisnya sampai terdengar bunyi brisik dari gesekan gelang yang dia pakai.

Mata Melan yang semula terpejam, kini mulai melirik pada Arjani. Wajahnya datar, namun mata itu menghunuskan pedang tak kasat mata. "Anak ibu udah gede."

"Iya, udah 20 tahun."

Melan mengangguk ringan. "Ga kerja? Buat bantuin ibu."

Ibu tersemyum tipis, lalu menggeleng. "Belum ada."

Arjani menunduk dalam, meremas bajunya kencang-kencang demi mengusir rasa sesak yang harusnya sudah terbiasa hadir. Arjani tahu, kalau ada orang tua kesulitan, pasti yang orang tanya adalah anaknya. Apa peran sang anak, sampai orang tua yang harusnya beristirahat malah lelah bekerja? Dari sini lah cap 'anak tidak berguna' akan muncul, walau yang bicara tak pernah melihat dengan kacamata sang anak.

Malam itu ibu harus rela mendengarkan berbagai ocehan dan ancaman dari Ci Melan, sebelum akhirnya ibu tersenyum tipis pada Arjani yang memandang prihatin, lalu pergi ke kamar mandi dengan alasan tiba-tiba mules. Padahal Arjani tahu di balik suara air mengucur, ada suara tangis yang ibu pendam. Dan setiap tahu ibu menderita, hatinya selalu nelangsa sampai mengiyakan apa yang dikata orang-orang tentang dirinya yang tak berguna.

Malam ini rupayanya belum jadi malam yang tenang. Baik ibu ataupun Arjani sama-sama termenung pada kecemasan masing-masing. Tapi meski begitu tak ada salahnya menunggu esok malam, yang semoga lebih tenang.

...

Ibu akan pergi pagi-pagi sekali, bahkan biasanya saat Arjani terbangun ibu sudah pergi. Tapi ajaibnya sesibuk apapun ibu bekerja, ia tak pernah meninggalkan rumah dalam keadaan kosong tanpa makanan.

Pagi ini setumpuk nasi di piring juga krupuk menjadi menu makan mereka. Meski jauh dari kata lima sehat empat sempurna, tapi kerupuk dan nasi ini sangat berharga untuk mereka menyambung hidup.

Arjani termenung menatap ke luar jendela. Sekarang musim penghujan, bahkan di hari sepagi ini langit sudah gelap. Untung saja hari ini tidak ada jemuran yang harus diangkat kalau langit mendung. Bukanya tidak mau mengangkat jemuran, Arjani hanya tidak mau melihat para tetangga yang tersenyum ramah padahal membicarakannya di belakang.

Seusai membereskan rumah dan mencuci piring, Arjani pun duduk di lantai tanpa alas. Biasanya ada karpet tipis di sini, tapi karena lantai baru saja di pel, karpet tipis itu masih di gulung.

Di lantai dingin ini Arjani termenung, tatapannya kosong menunduk dalam. Kalau manusia dilahirkan dengan tujuan, lantas apa tujuan Tuhan untuk hidup Arjani? Gadis ini hanya menjadi beban untuk ibunya. Dia juga ingin sukses seperti yang lain, tapi bagaimana caranya?

Menghela nafas panjang, gadis ini pun berjalan ke arah kamar mandi untuk membasuh wajah. Seusai dari kamar mandi, pandangannya tertuju pada sebilah pisau di dapur yang tergletak begitu saja. Sekilas dalam dirinya seperti ada yang menyuruh untuk mengambil pisau itu, lantas begitu saja pisau itu sudah ada di pergelangan tangan sampai mencipta sayatan tak terlalu dalam tapi mengeluarkan darah segar.

Matanya memanas melihat darah itu mengalir dari tangan. Rasa perih di tangam tak ada apanya dibanding perih dalam hati. Rasanya sangat menyebalkan saat sadar diri tak bisa apa-apa.

Kaki Arjani melemas, sampai gadis ini ambruk di lantai. Tangisnya masih berderai, sekuat tenaga tanpa sura agar tak menimbulkan tanya bagi orang yang mendengar.

Kini Arjani sedang bertemu dengan sang putus asa.

Dia ingin mengakhiri semuanya. Dia tak mau gelisah dengan omongan orang lain, dia tidak mau mengiyakan omongan tak berguna tentangnya, dia tak mau susah bernafas karena cemas memikirkan hari esok. Tapi bayangan sang ibu seketika mengintrupsi keputusasaannya.

20 tahun hidup sebagai seorang anak, apa Arjani pernah melakukan sesuatu untuk orang tuanya? Bahkan sampai menutup mata, ayah belum pernah menerima apapun dari Arjani. Kesempatan untuk melihat ayah bahagia karenanya sudah hilang, tapi kesempatan itu masih ada untuk ibu.

"Arjani, ibu— Astaghfirullah Jani, kamu kenapa?"

Arjani menelan ludah kasar begitu ibu datang lalu menghampirinya. Cepat-cepat Arjani menghapus air mata, lalu menyembunyikan luka di tangannya. Suara ibu yang bergetar sarat akan kekhwatiran membuatnya sadar, tak seharusnya ia melakukan ini.

"Kamu jatuh?" tanya ibu, memegangi pundak Arjani. "Sakit?"

Arjani mengangguk lemas, lalu tanpa berkata apapun ibu memeluknya erat. Sangat erat sampai rasanya dada Arjani sesak. Tanpa kata apapun lagi, gadis ini menangis di dalam pelukan ibu. Meski tanpa kata, tapi ibu seperti mengerti apa rasa sakit yang Arjani rasakan.

Ibu mengelus pelan pundak Arjani, menghela nafas panjang lalu ibu pun berbisik lirih. "Arjani, jangan kalah sama perasaan sampah yang kamu buat. Kalau malam ini belum tenang, mungkin nanti."

[]

That storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang