Di bawah pohon rimbun ini, seorang lelaki berkumis tipis berlindung dari jahatnya panas matahari yang bisa membuat kulit lumayan putihnya, jadi tidak putih.
Namanya Arion, atau biasa dipanggil Ari. Seorang pemuda lulusan SMK yang kesulitan mencari pekerjaan, karena citra yang sudah rusak. Semasa sekolah, bukan sekali dua kali Ari dilaporkan terlibat tawuran atau hal nakal lainnya. Bahkab jejak kenakalannya ini mengikutinya sampai ke dunia pekerjaan.
Sekarang, Ari hanya bisa berpasrah pada nasib sebagai pengedar panci dari pintu ke pintu. Itu pun sudah alhamdulilah dia punya pekerjaan. Berbeda dengan sinema picisan atau novel uwu-uwu seorang bad boy, yang walaupun sudah bulak-balik ruang BK seperti rumah sendiri, tapi tetap aman dan memiliki masa depan cerah. Di dunia nyata Ari—seorang yang katanya bad boy— hidupnya tidak seperti itu.
Ari selalu berpikir, kenapa ya nasibnya tidak sebaik karakter fiksi? Apa karena tidak ada seorang gadis baik-baik yang ingin, mengubahnya? Atau karena dia bukan berasal dari keluarga broken home, yang kaya raya? Entahlah, sekarang Ari hanya tahu cara menjual panci ke ibu-ibu yang kalau nawar, bawaannya suka pengen bacain a’udzu billahi minasy syaithonir rojiim.
Lelaki itu berdiri dari duduknya setelah kurang lebih setengah jam berleha-leha sambil berhayal. Dia berdehem sebentar lalu mulai meneriakan yel-yel andalannya sebagai tukang panci, yang liriknya berbunyi seperti ini...
"Papapapapapapapan Chiii chinnn... Para ranci pancii eceu!!"
Sudah dua puluh menit Ari mengitari kampung, sampai suaranya perlahan mulai serak seperti Judika saat sudah konser, tapi tak jua ada yang memanggil untuk membeli atau sekedar bertanya-tanya dulu tentang barang jualannya. Cape sekali, tenggorkan sakit, suara hilang, dan kaki gempor bukan main. Lebih baik Ari jadi tukang sampah kalau begini.
"Eh, mang... mang..." panggil seorang anak kecil di belakang, sontak membuat Ari menoleh untuk melihat si bocah pembawa uang dua rebu dan celengan ayam jago itu.
Anak itu menyengir begitu sudah berhadapan dengan Ari. Matanya berbinar-binar, menyembunyikan wajah kucel dan baju kotor yang dia pakai. Kalau tebakan Ari benar, mungkin dia berumur sekitar lima tahunan atau lebih. Kalau salah, ya mohon maap ini cuma nebak.
"Iya?"
"Mamang jualan alat masak?"
"Iya, panci masuk ke kategori alat masak sih. Ada apa?"
"Farhan mau beli itu buat Umma, biar Umma ga sedih lagi."
Ari menukikkan halis mendengar ocehan anak kecil ini, lalu di berlutut mulai memegangi daganggannya untuk mencari apa yang si bocah inginkan. Dia tidak tahu meladeni anak ini hanya akan menghabiskan waktunya, atau justru menguntungkan dagangannya, tapi mari lakukan saja.
"Farhan mau cari yang gimana? Ini ada banyak," tanya Ari memanggil anak itu dengan nama yang dia sebut tadi.
Sang anak berdehem, menyimpan jari telunjuk ke keningnya, seperti sedang berpikir sambil menilik panci-panci silver itu. "Umma jualan baso."
"Oh... Yang begini ya?" Ari mengambil sebuah dandang bakso berukuran lumayan besar di sana, lalu ditunjukan pada sang bocah.
"Iya ini!!!" pekik anak ini ceria, menunjuk-nunjuk benda yang sekarang dipegang Ari.
"Farhan mau beli ini ya, mang!"
"Punya uangnya?"
"Punya lah!"
Ari menarik senyum tipis, melirik uang dua ribuan di tangan si anak, juga celengan yang dari tadi dipeluknya.
"Berapa harganya?" tanya anak itu.