Suntuk

6 1 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

..

Mereka saling jatuh cinta, karena tatap mata yang terkunci itu memberi suatu kekuatan untuk hari besok. Mereka saling berucap sayang, karena suara satu sama lain yang menyenangkan. Mungkin benar apa yang dikatakan pribahasa, bahwa cinta itu datang karena terbiasa.

Terbiasa dengan senyum sambutannya, terbiasa dengan kepribadiannya, terbiasa melihat wajahnya, sampai segala sesuatu tentang dia menjadi kebiasaan yang membahagiakan. Mereka terbiasa dekat, lantas kalau jarak turun tangan untuk menjauhkan mereka, bagaimana kisah selanjutnya?

"Udah bangun belum?" tanyanya sembari menyelipkan ponsel di telinga dan pundak, karena kedua tangannya sibuk membersihkan peralatan yang dia gunakan untuk membuat sarapan.

"Hmm..." Suaranya berat, khas seperti orang bangun tidur. Berbanding terbalik dengan suara bersemangat milik lawan bicaranya.

"Baru bangun ya?"

"..."

"Nara, jangan tidur lagi!"

"Iyaa..."

Gadis bernama Bina itu terkekeh pelan, merasakan telinganya geli sendiri mendengar suara serak Nara—sang kekasih.

"Nar, di sana lebih siang dua jam loh.."

"Iya..." Suaranya masih lemas, jauh dari kata semangat, namun itu justru membuat Bina tambah terkekeh.

"Di sini jam sepuluh, berarti di sana jam dua belas... Udah siang looh!"

"Ya iya..."

"Terus kenapa baru bangun?"

"Deadline, begadang," jawabnya singkat, padat, jelas dan malas.

Bina mengangguk-ngangguk, mencoba mencari posisi duduk yang nyaman.

Hampir setahun Nara pergi untuk melanjutkan pendidikannya di jepang, tempat dia lahir sebelum akhirnya berpindah tempat ke negara ini. Awalnya memang berat, Bina merasa Nara seperti pergi ke belahan bumi yang tidak bisa ia gapai, tapi untunglah kedua anak muda ini bisa memanfaatkan teknologi.

"Nara..."

"Hm."

"Bangun dulu, makan."

"Gak laper, Bin."

"Kamu lewatin sarapan."

"Gak apa-apa, gak bakal mati ko."

"Nara."

"Bina."

"..."

"Makasih..."

"Kamu gak boleh sakit Nar, kita jauh. Buat berterima kasih sama aku kamu harus sehat."

Nara diam, mengganti posisi menjadi duduk menatap beberapa kertas di atas nakas lalu tersenyum tipis saat matanya bertemu dengan figura foto Bina yang sedang tersenyum lebar sembari menggandengnya. Lelaki ini terus diam sampai akhirnya di ujung sana ada yang mengetuk pintu rumah Bina, sembari memanggil-manggil namanya. Tadinya Nara ingin bertanya, tapi ia urungkan begitu teringat cerita Bina tadi malam yang mengatakan akan pergi bersama teman-temannya. Sampai sini, mereka harus menyudahi sambungan telepon.

That storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang