Sebenarnya aku pengen bikin warning, kaya yaqueen pede tulisan ini bisa bikin orang 'takut' tapi aku sendiri masih kurang yakin karena ya bisa dikatakan aku baru nulis gendre beginian, dalam artian amatir. Tapi kan efeknya ke orang beda-beda. Kalau memang kamu tipikal manusia yang gampang ketrigger sama horor sekecil apapun itu, i told you, chapter ini mengandung unsur demit dkk.
Happy Reading!
_
Gedung tua ini harus diruntuhkan secepatnya, itulah perintah yang Agus terima. Agus adalah seorang mandor bangunan. Sifatnya yang ambisius dan pantang menyerah, membuatnya disegani oleh para bawahan yang tidak bisa membantah saat pria ini menyuruh mereka datang ke lokasi malam-malam karena dikejar deadline."Pak, saya dengar di sini lokasi angker," ucap salah satu pegawai. Pandangannya menyebar ke sekeliling, sambil bergidik ngeri.
"Iya pak, apa ga sebaiknya kita izin dulu sama penghuni sini? Merinding saya," komentar seorang lainnya.
Agus berdecih, mengabaikan pegawainya yang was-was takut didatangi mahluk halus yang katanya menghuni wilayah sini. "Ini harus cepat diratain loh. Kalau sekarang kalian ngeluh begini, kapan mau selesainya? Udah, kerja aja jangan banyak percaya tahayul!"
Agus tidak peduli, dan pegawai pun tidak punya pilihan lain selain mulai bekerja. Kendala selalu menghampiri mereka, dimulai dari tangan salah satu pegawai yang terluka, sampai beberapa alat yang tiba-tiba hilang atau rusak. "Tuh pak! Liat, ga gampang kalo udah gini mah nih."
Agus diam, keningnya mengernyit mulai berpikir sebenarnya apa yang salah dari bangunan ini, sampai susah sekali merobohkannya?
"Yaudah, istirahat aja dulu kalian. Mungkin tim kita kurang fit." Menarik nafas dalam-dalam, begitu pegawai lain bubar ke warung terdekat--yang masih buka sampai malam-- Agus pun memutuskan untuk memasuki gedung ini.
Orang yang menyuruhnya untuk membongkar gedung, sudah melarang siapapun untuk masuk ke dalam, katanya cukup hancurkan dari luar memakai
ekskavator. Tapi entah kenapa, Agus terus melangkah memasuki gedung, menyinarinya dengan senter di ponsel. Bangunan dalamnya sangat tua dan kotor, banyak debu juga jaring laba-laba di setiap sudutnya, menandakan bangunan ini sudah lama kosong.Dari lantai satu sampai lantai dua, dia tidak menemukan hal aneh, sampai pandangannya menangkap satu kursi goyang yang bergerak begitu cepat, padahal tidak ada yang menumpaki. Mustahil angin bisa menggerakannya. Penasaran, Agus pun mendekat, menyinari kursi itu dengan senternya. Semakin didekati, semakin jelas ada seorang yang menunduk tengah duduk di sana. Rambutnya panjang sampai menyentuh lantai, dengan pakaian lusuh serupa dress coklat kelam.
"Permisi, bangunannya mau dibongkar, ibu ga boleh di sini," ucap Agus, berusaha positif thinking siapa tahu ini salah satu gelandangan yang memasuki gedung karena tidak punya rumah.
"Memangnya kamu berani, Na?" Wanita itu berkata lirih, tanpa menaikan pandangannya. Merasa ada yang aneh, Agus pun memundurkan langkahnya. "Kalaupun berani, belum tentu bisa sih."
Jantung Agus berdetak lebih cepat begitu sosok wanita tua itu tertawa nyaring, sampai beberapa puing bagunan runtuh. Rambutnya yang panjang bergerak mencengkram kaki Agus sampai lelaki itu tergantung dengan posisi kepala di bawah. Nafasnya terengah-engah begitu wanita tua itu menampakan wajahnya yang hancur. Sebagian wajah sudah membusuk ditubuhi belatung, giginya bertaring panjang, mengeluarkan air liur kemerahan yang menimbulkan bau anyir.
Cengkraman rambutnya di kaki Agus semakin kencang, membuat kaki Agus terasa sakit seperti akan terpotong. Tawa Nene itu semakin menggelegar, lalu menghempas badan Agus pada jendela di luar. Harusnya kalau Agus dilempar keluar, dia langsung terjatuh ke jalanan, tapi lelaki itu malah terlempar di lantai dasar.
Badannya terasa remuk, kakinya pun terus mengeluarkan darah segar. Dia merasakan gelitikan di kakinya, matanya melebar bersamaan dengan teriakan kencang begitu dia melihat dua sosok seperti Kuntilanak yang sedang menjilati darah di kakinya.
Agus ingin berteriak lebih kencang, atau kabur, tapi badannya membeku tidak banyak yang bisa dia lakukan selain berteriak sampai tenggorokannya kering. Satu sosok lain berbadan besar datang, menarik badan Agus yang tak kuasa melawan. Sosok itu membawa Agus pada satu ruangan gelap berbau melati. Setelah membawa Agus, sosok itu pun berlutut, tidak lama kemudian muncul sosok seorang wanita cantik memakai kebaya, yang menatapnya nyalang.
"Kau yang berani mengangguku?" tanya wanita yang berada di singgasana itu. Aura tajam seketika mendominasi ruangan, membuat Agus tertekam aura mengintimidasi wanita itu.
Wanita itu tersenyum menyeringai, "Panggil saya Nyai Banurasmi."
"A-ampun Nyai, sa-saya mengaku salah," ucap Agus, menempelkan kedua telapak tangannya untuk memohon ampun pada Banurasmi. "Tolong pulang kan saya, maka saya tidak akan menghancurkan bangunan ini."
"Pulang?" ulang Banurasmi. "Pulang pada Tuhanmu? Sayang sekali, lebih baik pulang padaku."
Tenggorokan Agus tersekat, keringat dingin membasahi badannya. "To-tolong bawa pulang saya ke dunia saya."
"Untuk apa pulang ke sana, kau sudah melewati batas. Pilihanmu mengusik tempatku, jadi mungkin saja jiwamu akan aku ambil."
Badan Agus bergetar, cairan hangat kini keluar dari matanya. Wajah sang istri serta kedua anaknya yang menunggu di rumah terbayang. Orang yang menyuruhnya meruntuhkan gedung ini, sebenarnya sudah berpesan agar Agus tidak melakukannya malam-malam, tapi dia nekat melakukannya di malam hari dengan alasan ingin cepat selesai, sebelum ulang tahun anak bungsunya. Agus sudah lama menghabiskan waktu untuk bekerja, dia ingin setidaknya satu hari istimewah anak bungsunya itu, mereka habiskan bersama. Tapi siapa sangka, sekarang hal seperti ini malah menimpanya.
"Maafin bapak, Rani.." lirih Agus pelan, merasakan sesak di dadanya saat menyebut nama sang anak bungsu.
"Manusia ceroboh, mengedepankan kepentingan sendiri tanpa peduli hal lain. Selalu ingin tahu walaupun itu artinya melampaui batasan. Manusia itu egois juga bodoh di waktu bersamaan."
Banurasmi berdiri dari singgasananya, dia melemparkan sesuatu pada Agus. "Ingatlah kebodohanmu ini, dan jangan diulangi lagi. Jadikan penyesalanmu sebagai pengalaman untuk bertindak lebih bijak."
"Pulang lah, dan kalau aku lihat kau kembali, aku tidak akan segan menghabisi jiwamu untuk dijadikan budakku."
Pandangan Agus melebur, perlahan semua yang dia lihat tergantikan jadi hitam. Kesadarannya sudah pergi meninggalkan Agus, sampai suara rengekan kecil seorang gadis membanggunkannya lagi.
"Bapak!" pekik anak itu, memeluk Agus yang baru saja membuka matanya.
Kepala Agus pusing. Bangun-bangun dia sudah berada di depan gedung tadi, dikelilingi banyak orang, termasuk keluarganya dan juga pemilik rumah ini. Tidak ada yang Agus ingat selain rasa ngeri yang menusuk. Kakinya diselimuti perban, kata Tina--istri Agus-- kaki Agus terluka. Lukanya seperti habis diikat oleh tali tajam dalam waktu lama.
Kemudian Pak Basrul--pemilik gedung-- bercerita tentang pegawai yang dulu nekat membongkar gedung ini. Dia dinyatakan hilang, lalu satu bulan kemudian jasadnya ditemukan dengan mulut dan mata yang terbuka lebar. Sudah banyak usaha Basrul lakukan untuk membongkar gedung ini, tapi usahanya selalu gagal, bahkan memakan korban luka-luka dan korban hilang yang tadi diceritakan. Kini Basrul sudah pasrah saja, membiarkan gedung ini berdiri.
"Bapak beruntung bisa selamat," ucap Basrul, menepuk pundak Agus.
Dari kejadian ini, Agus jadi merubah sikapnya. Dia selalu mendengarkan semua saran dari bawahannya, dan dia mempercayai keberadaan mereka yang tak kasat mata. Agus menjadi lebih sering beribadah, membaca ayat suci tentang keberadaan mereka yang tak kasat mata, lalu mempercayainya untuk menghargai keberadaan mereka.
End.