1 - MANDI MATAHARI

5.7K 78 22
                                    

Sepasang bola mata menatap jalanan lenggang dari balik jendela, jemari kedua tangannya terkait menopang dagunya, sesekali dia melirik jam tangan mungil berwarna cokelat tua yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam membentuk sudut 75derajat, sudah jam setengah empat sore. Gadis itu memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam, menyesapi aroma harum kopi yang begitu menenangkan pikiran. Dia meraih secangkir kopi yang ada di hadapannya, dirasaknnya cangkir tersebut sedikit panas, dia mendekatkannya ke mulut lalu dengan hati-hati menyeruputnya.

"Hmm... pahit! Lupa belum kasih gula. Kemana ya tuh anak nggak kelihatan ujung rambutnya?!" gadis itu bergumam dan mengambil gula sachet lalu menyobek ujungnya.

"Hayo lagi apa?!" teman gadis itu menepuk punggungnya untuk sengaja mengejutkannya, membuat sobekan kemasan gula menjadi besar dan menyemburkan isinya, tumpah berserakan.

"Ya ampun... Karen! Kaget, lihat nih gulanya berserakan di meja."

"Iya iya, sini aku bantu bersihkan gulanya." Ujarnya sambil terkekeh.

Karen langsung mengambil beberapa helai tisu, mengumpulkan gula yang berserakan di ujung meja dan menjatuhkannya pada tisu yang ditadahkan di bawah meja lalu membungkusnya.

"Kenapa dibungkus? Mau dibawa pulang?"

"Hasita Ayunda... kalau langsung aku buang ke lantai kasihan petugas kebersihannya dong, belum lagi nanti semut dan koloninya datang." Karen mengambil duduk di sebelah Hasita.

"Ah... ya, kau memang selalu punya kebiasaan baik untuk hal itu, tapi kau selalu punya kebiasaan buruk nggak disiplin. Kau tahu sekarang jam berapa? Molornya 1 jam, bilangnya sudah di jalan dari 45 menit yang lalu, tapi kenapa baru sampai? Bukannya tempat ini cuma 10 menit saja dari rumahmu? Itupun jalan kaki. Kau kesini naik sepeda pancal kan? Harusnya nggak sampai 10 menit, Karen. Memangnya rumahmu sudah pindah?"

"Astaga Hasita, kau mengomel seperti emak-emak. Iya beneran tadi lagi di jalan kok, jalan menuju kamar mandi." ujar Karen cengengesan.

Hasita gemas mencubit pipi Karen yang tembem dengan pelan tidak bermaksud menyakiti.

"Tahu nggak, aku sudah seperti nunggu cinta sang pangeran pujaan hati yang tak kunjung datang?"

"Oh my... God, jadi selama ini kau diam-diam jatuh cinta sama aku?"

"Ih... ya ampun Karen, kenapa jadi begini ya nih anak? Kau sakit? Terlalu lama jomblo sih."

"Ih... lepas!" Karen menyingkirkan tangan Hasita, lalu memijat-mijat pipinya. "Kaya yang ngomong nggak jomblo saja."

"Iya juga sih" Hasita memutar bola matanya. "Kau bawa laptop kan? Kita ke sini kan mau kerjakan tugas kelompok." Lanjutnya.

"Iya, bawa kok. Referensi kita kurang nih, kau cari referensi lain gih!"

"Oke, kau tunggu di sini ya. Aku ke atas dulu cari buku."

"Sip..."


(!)

Tempat ini memang favorit Hasita untuk Hangout. Sebuah kedai kopi di lantai dasar dilengkapi dengan sebuah perpustakaan umum. Desain arsitektur modern minimalis, bersih, nyaman, tenang, asri, jauh dari keramaian kota. Menikmati secangkir kopi sambil membaca buku adalah suatu hal yang menyenangkan dan hebatnya lagi, membaca, menyewa dan menjadi anggota perpustakaan ini gratis.

Hasita menaiki tangga menuju lantai dua, langkahnya melamban dan langsung terhenti saat kaki terakhir yang diangkatnya menyusul kaki yang lainnya di puncak anak tangga. Waktu terasa berhenti untuk sekian menit seperti adegan saat aktor Korsel Kim Soo Hyeon menghentikan waktu di serial drama aliennya. Otaknya seakan memerintahkan seluruh tubuhnya untuk mematung sementara matanya mengirimkan gambar dan data ke otak lalu diteruskan ke dalam perut namun perutnya menolak karena tidak dapat mencerna, akibat penolakan si perut, data dan gambar itu akhirnya pecah menjadi partikel-partikel kecil yang menyebar ke organ-organ vital di dalam tubuhnya. Jantungnya berdesir, paru-parunya mendadak dipenuhi gas CO2, kembang kempis karena kekurangan pasokan gas O2. Kesadarannya melayang ke langit yang biru, menyentuh lembutnya gumpalan awan seperti kapas.

Akankah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang