4 - HILANG

1K 40 2
                                    

Shin membalikkan berkas-berkas bergambar rangkaian mesin mobil, memasukkannya kembali ke dalam map lalu meletakkannya di meja. Badannya terasa sangat pegal, dia memijat-mijat bahunya.

"Lelah, Shin?"

"Oh, papa. Ya... sangat." Shin menggeser duduknya, memberikan ruang untuk papanya duduk di sebelahnya.

"Mr. Takeda bilang kau sangat cepat memahami apa yang beliau ajarkan."

"Ya, aku sudah diajarkan di kampus tentang gambar mesin dan juga sudah belajar langsung dengan Artha di bengkel papa. Tapi lumayan juga, mr. Takeda mengajarkan mesin yang lebih canggih."

"Bagus, nak. Memang tujuan papa membawamu kemari agar kau bisa belajar dengan peralatan yang lebih canggih."

"Papa terlalu mendadak membawaku ke sini, aku pikir kita hanya berkunjung beberapa hari."

"Lebih efektif dan efisien bila kau langsung belajar tanpa bolak-balik Indonesia-Jepang. Bagaimana rintisan usahamu?"

"Aku masih perlu banyak belajar, Pa. Mungkin aku akan belajar ke Amerika Serikat karena untuk urusan modifikasi mobil mereka lebih unggul."

"Boleh juga. Kau tahu, mengapa papa selalu menanamkan pada anak-anak papa bahwa kalian harus sukses dan mandiri tanpa menunggu keistimewaan dari papa? Kau dan Airin."

"Ya..."

"Terutama kau adalah anak laki-laki, papa ingin kau kelak akan memimpin perusahaanmu sendiri tanpa harus ada campur tangan dari papa."

"Ya, tentu. Aku akan senang bila papa berkenan menjadi mentorku."

"Bagus anak muda. Istirahatlah, papa balik ke kamar dulu." Papa Shin menepuk punggung anaknya itu lalu beranjak dari sofa dan pergi meninggalkan kamar Shin.

Shin menghempaskan tubuhnya ke kasur yang sangat empuk setelah papanya pergi meninggalkan kamarnya. Sepertinya tulang di tubuh itu remuk karena setiap hari dari pagi sampai malam selama tiga minggu ini Shin belajar langsung di lapangan dengan beberapa tenaga ahli. Dia mengambil ponsel yang berada di samping bantalnya, menatap layar ponsel dengan perasaan hampa.

Shin memejamkan matanya mencoba untuk tidur, namun kegelisahan melandanya. Dia bangkit dan duduk di sisi tepi ranjangnya, kedua sikunya tertopang di atas lututnya, mengusap wajahnya kemudian membenamkan kepalanya. Sejenak dia merenung, mencoba berdamai dengan hati dan pikirannya, namun dadanya terasa sangat sesak. Kemudian dia mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi, lalu merebahkan kembali tubuhnya.

Beberapa minggu ini Shin tidak bisa tidur karena bayangan Hasita selalu muncul melintasi pikirannya saat beberapa detik setelah dia memejamkan mata. Dia menahan diri untuk tidak menghubunginya dan sejauh ini berhasil, bukan karena dia enggan, sebaliknya dia sangat ingin. Sebelumnya dia pikir Hasita akan sama dengan gadis lainnya, namun dia tidak bisa menahan gejala alami yang mulai tumbuh pada jiwanya.

"Hasita... mengapa kau selalu mengganggu pikiranku?" Desah Shin sambil mengarahkan lengannya ke wajahnya mencoba menutupi matanya.

(!)

"Dia masih belum menghubungimu?" Tanya Karen.

Hasita hanya menggelengkan kepalanya, lalu menyeruput jus Alpukat tanpa gula.

"Kenapa ya? Padahal kau bilang waktu itu dia tersenyum padamu."

"Bibirnya tersenyum, mana aku tahu hatinya." Hasita menarik nafas panjang dan berat. "Apa aku salah bicara waktu itu?"

"Tidurmu nyenyak nggak semalam?"

"Nggak."

"Kau memikirkannya?"

Akankah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang