Alunan lembut dari tangan ajaib yang menyentuh tuts hitam putih mengalir dari telinga menuju pusat pengendali tubuhnya, nada-nada itu menari-nari di ruangan penuh memori, menghanyutkan apapun yang ada di dalamnya. Kosong, tidak ada apapun yang terlintas di benaknya, pandangan mata yang tertuju pada deretan huruf di buku cetak karya novelis terkenal terlihat buram, fokus itu berada pada dinding tak kasat mata. Hanya ada alunan nada yang terekam di otaknya.
Ketukan lembut di punggung tangannya mengembalikan fokus mata pada deretan huruf yang ada di hadapannya. Bola matanya bergerak menuju sebuah tangan besar di sebelah tangannya. Hasita mengangkat kepalanya yang bertopang pada tangan kanannya, menyentuh simbol persegi pada layar ponselnya yang menampilkan tulisan 'My Memory – Yiruma' kemudian melepas earphone berwarna putih dari telinganya. Dia meluruskan kepalanya dan tersenyum tipis pada seseorang di hadapannya.
"Hai... boleh duduk di sini?"
"Kau sudah duduk di sana dari beberapa detik yang lalu, bagaimana kalau aku bilang tidak?"
Pria itu terkekeh pelan "maaf, kalau begitu..." dan beranjak berdiri.
"Silakan duduk!"
Pria itu terkekeh lagi, dia kembali duduk. "Baca novel sambil dengarkan musik, mana yang lebih dulu terserap? Isi cerita itu atau lirik lagu?"
"Lirik lagu akan sedikit terabaikan, musik hanya jadi pengiring. Aku lebih memilih musik instrumental, itu akan menambah rasa pada cerita itu sendiri."
"Aku perhatikan dari tadi, kau tidak membalik kertasmu sama sekali. Melamun?"
"Tidak, hanya saja..."
"Upik sayang, kau di sini ternyata." Adit tiba-tiba duduk di samping Hasita dan merangkul pundaknya.
Hasita menoleh pada Adit dan mengerjapkan matanya, Adit menarik kedua sudut bibirnya dan menaik-turunkan alisnya kemudian menatap pria yang ada di depan Hasita.
"Januar, bukan? Ada perlu apa?" tanya Adit.
"Kantin lumayan ramai," Januar memandang sekeliling kantin beberapa saat, "dan aku lihat Hasita menyendiri, jadi aku pikir akan lebih baik jika..."
"Dia bersamaku," potong Adit sambil mengeratkan rangkulannya, Hasita menggenggam tangan Adit yang ada di bahunya dan menariknya melewati kepalanya kemudian menepiskannya.
"Oh iya," Januar mengeluarkan selembar kertas yang terlipat dari dalam tasnya kemudian menyerahkannya pada Hasita, "hasil rapat kemarin."
"Oh, Kak Januar yang salinkan ini semua? Sorry, kemarin nggak bisa hadir."
"Nggak apa-apa, Hasita. Kayaknya aku harus pergi. Sampai jumpa!" Januar bangkit dari duduknya, tersenyum sebentar kemudian pergi.
"Hus... hus..." Adit mengibaskan tangannya, "hemph..." kibasan tangannya terhenti saat siku Hasita menghantam perutnya.
"Ngapain sih di sini? Ganggu saja!"
"Aku harus menjagamu dari segala ancaman. Jangan dekat-dekat dengan dia!"
"Ancaman? Justru sekarang aku merasa terancam. Itu tangan tadi, kenapa pakai acara nangkring di pundak segala?" tanya Hasita bersungut-sungut sambil menunjuk tangan Adit.
"Kalau nggak nangkring di pundakmu, terus di mana lagi?"
"Pilih salah satu dari penggemarmu, gampang kan?!"
"Tapi aku nggak suka mereka. Kau tahu kan, gadis yang kusuka dibawa kabur oleh Shin."
"Maksudmu gadis mengerikan yang sangat kau cintai itu?" Dilon menginterupsi pembicaraan mereka, dia datang bersama Karen dan duduk di depan mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akankah Kita
RomancePertemuan Shin dan Hasita di Kedai Pustaka bukan karena tidak disengaja. Bersepakat menjalin hubungan layaknya sepasang kekasih tanpa alasan, membiarkan cinta mereka tumbuh dan mengakar kuat. Namun ketika cinta itu tak terucap... "... Tapi dia bahka...