Hari sabtu adalah hari yang paling Helia suka dari semua hari. Setelah lima hari bekerja, ia bisa memanjakan diri sendiri dengan belanja apapun dan menghabiskan waktu sendiri di mall tanpa gangguan siapa pun, sekali pun itu Malvian.
Sejak jam sebelas pagi ia sudah berada di mall yang terbilang elit dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul enam malam. Tas belanja penuh di kedua tangan Helia, kukunya sudah berganti warna, rambut yang biasanya hanya lurus kini terlihat keriting di ujung, terakhir wajahnya yang biasa terlihat lelah dan suntuk kini bersinar cerah.
"Makan apa ya." Bisik Helia pada dirinya sendiri.
Helia sudah lima menit berdiri di antara banyaknya restoran dan wanita itu masih bingung dengan apa yang harus ia makan malam ini. Hingga suara familiar terdengar memanggil namanya.
"Oh, hai." Balas Helia saat pemanggil sudah berada di hadapannya.
"Lo sendiri?"
"Iya nih, biasa me time." Balas Helia dengan senyum tipis. Ia tidak ingin terlihat acuh namun juga tidak ingin terlalu menanggapi si pemanggil.
"Mau makan?"
"Iya, lo juga?" Basa basi Helia yang membosankan.
"Iya, gue sama pacar gue. Mau gabung?"
Helia menggeleng cepat dengan tawa canggung. "Ngga, makasih Vi, gue sendiri aja. Ngga enak ganggu lo pacaran."
"Nggak kok, ngga ganggu sama sekali." Sanggah Silvia-- si pemanggil--dengan cepat.
Iya benar, itu Silvia. Mantan terakhir Malvian yang membuat pria ber-alis camar gila karena cintanya. Wanita anggun dengan kepribadian yang bisa diacungi jempol. Pintar, tutur kata lembut, sopan, ramah, sexy, cantik, tinggi, siapa yang tidak akan menyukainya?
"Gabung aja ya Hel, ada yang mau gue omongin juga sama lo. Please."
Ya, siapa yang bisa menolaknya. Helia dengan setengah hatinya mengikuti Silvia serta pacarnya ke salah satu restoran Jepang.
"Oh iya, kenalin pacar gue Christopher." Kata Silvia berusaha mencairkan suasana disaat mereka tengah menunggu makanan datang.
"Chris."
Helia menjabat tangan pacar Silvia dengan senyum canggung. "Helia."
Helia kira selama acara makan yang terpaksa ini akan berjalan canggung. Tapi tidak, Silvia bisa mencairkan suasana dengan cepat, wanita itu juga bisa mencari topik pembicaraan yang membuat Helia lebih rileks.
Terlalu seru terbawa dengan obrolan, tidak terasa jam sudah menunjukan pukul tujuh lewat, makanan mereka pun sudah selesai tiga puluh menit lalu. Kini, hanya tersisa Helia dan Silvia setelah sebelumnya Chris pamit untuk mengangkat telpon.
"Hel."
"Hm?"
Raut wajah tegang Silvia memberitahu Helia bahwa ini waktunya wanita itu akan bicara serius.
Helia menegakkan duduknya, mencari posisi nyaman untuk mendengar lebih lanjut apa yang akan Silvia katakan.
"Kenapa Vi?" Tanya Helia saat Silvia tidak juga membuka suaranya kembali.
"Gue minta maaf buat waktu itu. Jujur... Gue ngga bermaksud mau nampar Malvian. Tapi dia ngeselin jadi gue..."
"Reflek?" Kekeh Helia saat Silvia menggantung ucapannya untuk mencari kalimat yang tepat.
"Iya." Silvia membenarkan ucapan Helia dengan kikuk.
"Gapapa kali Vi, santai aja."
"Gue ngga nyaman banget waktu Malvian bikin ribut di tempat umum." Silvia menarik napas dengan bibir mempout. "Omongannya Malvian itu ngga pelan, gue malu waktu dia bilang gue selingkuh... Walaupun itu bener sih, tapi..."
Helia mengernyit saat wanita di depannya membenarkan perlakuannya. Ya walaupun memang harusnya begitu. Tapi, di antara empat mantan kekasih Malvian yang semuanya selingkuh dari pria itu, baru Silvia yang terang terangan mengakui kesalahannya.
"Jadi, kalau boleh tau apa alasan lo selingkuh dari si camar?" Tanya Helia saat melihat Silvia tidak akan melanjutkan ucapannya.
Silvia bersandar pada kursi saat reaksi Helia justru terlihat biasa saja, tidak mencoba untuk menghakiminya, ia jadi lebih tenang.
Silvia menatap lekat Helia yang berada di hadapannya. Karakter sahabat Malvian itu cukup tenang dengan sikap yang netral, tidak memihak siapa pun.
"Malvian itu terlalu posesif tapi sifatnya yang satu itu ngga bisa dia tempatin dengan benar. Di tahun pertama kita pacaran masih gue anggap itu biasa buat dua orang yang baru jalin hubungan. Tapi, di pertengahan tahun kedua, Malvian makin menjadi sama keposesifan yang bikin semua aktivitas gue keganggu..."
"Gue ngga menyalahkan dia sepenuhnya karena, mungkin itu tanda dia sayang banget sama gue. Ya, jadi gue udah terbiasa sebenernya sama posesifnya dia..."
"Itu alasan pertama gue lepasin dia."
Helia tidak berniat mengintrupsi sampai Silvia sendiri yang selesai mengakhiri cerita. Jadi, ia memilih untuk memajukan duduk dan menopang dagu untuk mendengar kelanjutannya.
"Alasan kedua, dia mulai kasar setiap gue deket sama temen kerja cowo gue, bahkan cuma chatingan tentang kerjaan pun dia marah. Walaupun kasarnya dia ngga sampe mukul... Gue paling ngga suka dikasarin, walau dia cuma sekedar cengkeram bahu gue terlalu kuat atau narik tangan gue terlalu kenceng, gue ngga suka."
Helia mengangguk mengerti. Siapa juga yang mau dikasarin walaupun menurut banyak orang hanya hal kecil.
"Dari situ gue mulai selingkuh, walaupun gue ngga membenarkan sikap gue yang satu ini."
"Sejak Malvian mulai kasar and not like when we started dating sifatnya mulai berubah, gue mulai cari tau alasan kenapa dia jadi susah dihubungin, then he came back just to piss me off." Silvia menjeda ucapannya saat melihat kekasihnya kembali, ia membalas senyum Chris kemudian kembali menatap Helia saat pria itu memberi gestur untuk melanjutkan obrolan tanpa akan ia ganggu.
Silvia menghela napas, meraih gelas berisi lemon tea sebelum melanjutkan ceritanya.
"Finally, busuknya Malvian ketauan juga, with my own eyes i saw him... Oush gue ngga bisa lanjutin ceritanya." Silvia mengernyit jijik yang membuat Helia ikut mengerutkan alis bingung dibuatnya.
"Terakhir, gue harap lo pikir-pikir lagi sama lamaran Malvian yang menurut lo bercanda itu--"
"Wait wait, gimana lo bisa tau?" Potong Helia dengan tanya besar.
"Loh Hel, mulai tahun kedua gue pacaran sama dia juga tuh brengsek udah jujur kalau nanti nikah maunya sama lo. Our relationship is just a joke to him. Makanya gue benci banget sama diri gue yang dulu masih aja bucinin Malvian."
"Tapi Malvian mau lamar lo." Ucap Helia masih linglung.
Silvia mengangkat bahu acuh. "Bullshit, dia cuma mau nutupin rasa bersalahnya karena, mantan mantan dia sebelumnya ngga tau kelakuan dia yang sebenarnya."
"Gue pikir lo juga tau kalau hubungan lo sama Malvian bakal ke jenjang yang lebih serius. Soalnya gue liat Malvian selalu memperlakukan lo dengan baik. Gue sempet sebel banget sama lo." Kekeh Silvia di akhir kalimat.
"Gue--"
"It's oke Hel, udah berlalu juga. Bersyukur gue bisa lepas dari toxic relationship." Ucap Silvia sambil membenahkan barang bawaannya. "Itu aja sih Hel yang mau gue omongin, lega juga akhirnya. Gue cuma ngga mau lo benci gue, ya walaupun lo bukan tipe yang bakal benci orang cuma karena masalah sahabat lo."
"Lo belum kasih tau gue apa hal busuk, brengsek or something like that yang lo liat waktu lo mergokin Malvian." Cecar Helia namun juga ikut membereskan belanjaannya.
Silvia menghela napas. "Kayaknya bukan ranah gue buat kasih tau itu, lo juga ngga akan percaya. Jadi, biar Malvian yang cerita sendiri atau lo yang harus cari tau, ya karena pasti Malvian ngga akan bikin imagenya jelek di depan lo."
Tangan Helia yang berada di atas meja di genggam oleh Silvia. "Gue cuma minta lo buat pertimbangin lamaran Malvian, bukan ngelarang lo buat nolak dia. Siapa tau kalau sama lo, sifatnya bisa berubah lebih baik."
―〃
Votenya ygy jgn lpa
KAMU SEDANG MEMBACA
Unnatural
Fanfiction●Markhyuck Banyak orang bilang kalau menikah dengan sahabat sendiri akan membuat pernikahan menjadi awet karena, sudah saling mengerti dan memahami satu sama lain. Akan jarang terjadi pertengkaran dalam rumah tangga nantinya. Dulu Helia juga berpiki...