denial 𝟙ϩ

1.4K 264 17
                                    

Sejak hari lamaran, hari-hari Helia mulai berubah. Ia pikir lamaran mendadak tanpa adanya komunikasi lebih dulu akan ditolak kedua orangtuanya. Tapi tidak, orangtua Helia--terutama sang ibu--menerima lamaran Malvian dengan sangat senang tanpa perlu diskusi lebih dulu dengannya.

Helia kini sudah menjadi milik--ah tidak, akan menjadi milik Malvian. Kedua keluarga sepakat akan mengadakan pernikahan di awal tahun baru. Semua yang direncakan dengan tiba-tiba membuat Helia sakit kepala dan mungkin tertekan.

Malvian harusnya membicarakan lebih dulu hal ini kepada Helia, bukan tiba-tiba datang bersama keluarga besar. Helia pasti akan menerima dengan tangan terbuka jika Malvian bicara lebih dulu, walaupun tetap banyak pertimbangan. Ia belum siap untuk menikah, mengurusi dirinya saja Helia masih tidak benar apalagi mengurusi Malvian nanti.

Yang paling Helia tidak suka setelah hari lamaran itu adalah dirinya tidak bisa bebas melakukan sesuatu, ada saja alasan Malvian untuk bisa mengikutinya kemana pun. Apapun yang ia lakukan harus se-izin Malvian. Menyebalkan sekali.

"Kenapa sih Hel? Dari tadi kamu kerja ngga fokus terus, mukanya juga tuh sepet banget diliatnya." Tanya Dina setelah menaruh berkas di meja Helia.

Helia menatap Dina dengan wajah melasnya. "Mba, boleh minta tolong gak?" Tanya dengan memohon.

"Apa? Tumben nanya dulu." Kekeh Dina.

Bibir Helia mengerucut sebal. "Tolong bilangin pak Jefian, istirahat kedua ajak Malvian keluar. Mau ngobrol sama mba."

Dina terkekeh melihat wajah memohon Helia, sepertinya memang ada yang mau diceritakan dari wanita yang sudah ia anggap adik itu.

"Oke."

Helia menghela napas, berharap beban atau mungkin perasaan tidak enak di hatinya hilang dengan cepat. Ia memilih membiarkan komputernya mati saat jam istirahat akan datang lima menit lagi.

Helia menyandarkan punggungnya, memperhatikan Dina yang tengah berbicara dengan Jefian. Ia terkekeh saat kedua pasangan itu mencuri mesra dalam ruangan. Ia sedikit iri dengan apa yang dilihatnya, namun juga bahagia saat Dina mendapatkan pria yang baik.

Helia mengembangkan senyum saat Dina datang membawa kabar menyenangkan untuknya. Malvian akhirnya mau membiarkan Helia istirahat bersama Dina. Masih dengan senyum mengembang, ia langsung mengajak Dina keluar dari gedung kantor menuju cafe sebrang, tanpa mempedulikan Malvian yang menyuruhnya untuk menunggu pria itu sebentar.

"Kamu bener ngga dimarahin Malvian, ninggalin dia?" Tanya Dina sedikit takut.

Helia mengibas tangan remeh. "Mana berani dia."

"Pesen lagi mba kalau kurang, aku yang bayar." Sombong Helia dengan kekehan menyebalkan.

Dina berdecak saat sifat Helia sudah kembali seperti semula. Wanita itu memajukan tubuh antusias saat mengingat Helia akan bercerita.

"Jadi?"

Helia terkekeh salah tingkah melihat wajah penasaran Dina. Ia mencoba menenangkan dirinya agar bisa bercerita dengan mudah.

"Mba, Malvian ngelamar aku." Ucap Helia dengan pelan namun masih terdengar di telinga Dina.

"Mba." Rengek Helia saat Dina masih saja terkejut atas pernyataannya.

"Wah." Hanya itu yang Dina katakan, membuat Helia berdecak karena tidak sesuai ekspektasinya.

"Mba, Malvian loh ini, ngelamar aku. Sahabat aku sendiri."

Dina meminum lychee ice tea miliknya sebelum menanggapi Helia yang terlihat begitu frustrasi.

"Bagus dong."

UnnaturalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang