beban Ƽ

1.4K 245 18
                                    

Hari terus berganti, senin sudah berganti minggu kembali, berlalu begitu cepat namun tidak dengan aktivitas yang berubah. Aktivitas monoton para pekerja terus bergulir, membuat banyak pekerja memilih untuk menghabiskan waktu weekend hanya di rumah. Sama seperti kedua sejoli yang sedari pagi hanya diam di kamar bernuansa gelap.

"Aduh, monyet! Sakit!"

Teriakan melengking itu memenuhi seisi kamar yang awalnya hanya terdengar ocehan Malvian.

"Lo ngga dengerin gue ngomong dari tadi."

"Dengerin kok!" Sanggah Helia dengan bibir mencebik kesal.

"Diem ah!" Tendengan diberikan Helia pada tubuh Malvian, membuat pria itu tetjungkal ke belakang.

"Lo! Kalau gue jatuh ke lantai gimana?!" Malvian melotot galak, jarak kasur ke lantai cukup jauh, kalau ia beneran jatuh bisa sakit sekujur tubuhnya.

"Elo ngeselin!" Sebal Helia sambil membersihkan mulutnya karena Malvian mencoba menyuapinya kue ber-krim yang ia tolak tadi.

"Bisa geseran gak! Lo kayak orang mau ngutang nempel terus."

Malvian menghiraukan dorongan Helia pada bahunya, lagipula tenaganya berbanding jauh dengan Helia. Mungkin tadi dia kurang siaga jadi bisa terjatuh karena tendangan si semok.

"Cuci tangan Ian! Aahhh jijik banget!" Helia merauk wajah Malvian yang memaksa jarinya untuk dibersihkan dengan mulutnnya.

"Ngga usah ngedesah gitu, belum gue apa-apain."

"Siapa yang desah, babi!"

Malvian tertawa kencang bisa menjahili Helia. Sahabatnya itu sejak minggu kemarin berubah menjadi wanita pendiam. Mau dijahilin olehnya bagaimana pun, Helia tidak bergeming, paling mentok wanita itu hanya berkata kasar kemudian tidak menghiraukan Malvian lagi.

Malvian mengelus pipi tembab Helia setelah tangannya selesai dibersihkan dengan tisu oleh Helia.

"Ini otak isinya apa, hm? Jangan dipikirin sendiri Iia, bagi sini ke gue." Malvian mengelus rambut Helia dengan lembut membuat wanita itu merasa nyaman hingga bersandar pada headboard yang sudah disanggah tumpukan bantal.

Mata Helia terpejam. Sejak pertemuannya dengan Silvia, perkataan mantan Malvian itu terus terngiang di otaknya. Tentang sifat asli Malvian, tentang apa yang sudah Malvian lakukan pada setiap mantannya. Banyak pertanyaan yang tidak terjawab di otak Helia.

Selama seminggu ini Helia selalu memperhatikan setiap pergerakan Malvian. Tidak ada yang aneh menurutnya, pria itu masih menjadi dirinya yang menyebalkan dan usil.

Malvian juga jarang keluar untuk main bersama teman-temannya, entah teman kantor ataupun teman semasa sekolah dan kuliah. Malvian terus menghabiskan waktu bersamanya. Jadi, bagian mana yang harus Helia curigai dari sahabatnya itu?

"Iia."

"Aduh, lo bisa diem dulu gak?! Pusing pala gue."

Malvian berdecak, kemudian membiarkan Helia sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia menyambar satu batang rokok di nakas kemudian membakar dan menghisapnya perlahan. Tubuhnya kini ikut bersandar namun sedikit menjauh dari Helia.

Malvian sesekali melirik Helia yang terkadang menarik napas berat, seakan sedang menopang beban cukup berat. Sahabatnya memang lebih menarik jika diam, lebih cantik dan manis. Tapi, Malvian lebih suka sahabatnya yang banyak tingkah dan banyak omong. Lebih suka jika Helia marah dan mengomel, karena terlihat lebih seksi.

Sebenarnya mau bagaimana pun Helia, sahabatnya tetap bisa memikat setiap orang.

"Iia."

Setelah tiga batang rokok Malvian habiskan sambil menemani Helia. Ia dekatkan tubuhnya pada Helia yang tidak bergeming.

"Tidur ya?" Malvian mencubiti pipi hinga bibir Helia untuk membukti jika sahabatnya benar benar tidur.

Malvian membenarkan letak kepala Helia agar setelah bangun wanita itu tidak mengeluh sakit di lehernya. Kekehan halus mengalun dari bibir Malvian saat melihat gaya tidur Helia yang tidak bisa dibilang anggun.


💍💍💍


Pergerakan perlahan dari tubuh yang tertidur di kasur, mata bulat itu mengerjap perlahan membiaskan dengan cahaya lampu. Ia lihat dari jendela, hari sudah mulai gelap, itu berarti ia tertidur cukup lama.

Tubuh yang masih lemas dipaksa bangkit dan mulai merenggangkan persendiannya. Langkahnya di ayun menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi.

Ya, jika kalian berpikir Helia lupa ia ada di mana, tidak. Wanita itu tidak lupa ia berada di mana. Setiap sudut kamar sudah ia hafal, ia juga tidak salah memakai sikat gigi karena sudah tau mana sikat gigi miliknya dan milik sahabatnya.

"Ian." Panggil Helia saat di lantai bawah rumah, pria itu tidak ada.

"Malvian." Panggilnya lagi kini dengan nada sebal.

Langkahnya dibawa menuju belakang rumah, tujuannya terakhir. Jika Malvian tidak ada juga, ia akan pulang tanpa berpamit karena tidak ada satupun orang termasuk kedua orangtua Malvian.

Benar saja, Malvian tengah asik bersandar pada kursi santai sambil memainkan ponsel ditemani segelas kopi hitam yang tinggal setengah.

"Ka."

Pandangan Malvian beralih pada suara lembut itu. "Loh, udah bangun."

Helia tidak menanggapi namun langsung duduk di samping Malvian. Bangku yang sebenarnya hanya muat untuk satu orang itu terlihat menyesakkan ditempati oleh dua orang.

"Kepala gue pusing deh. Kelamaan tidur kali ya."

Malvian menyelipkan lengan kanannya di kepala belakang Helia, menarik kepala sahabatnya untuk bersandar di bahunya.

"Makanya jangan makan tidur terus, males gerak, badan lo tuh jadi kayak babi."

Helia menjauhkan kepalanya dari pundah Malvian, menatap pria itu dengan sebal. "Gue ngga gendut ya! Ini tuh namanya berisi di tempat yang tepat."

Malvian tekekeh, memang benar Helia tidak gendut. Tubuh wanita itu termasuk ideal untuk ukuran wanita dewasa, tubuhnya sekal pada bagian tertentu membuat kesannya menjadi sangat seksi.

"Mau ambil cuti?"

"Huh?" Helia mendongak melihat Malvian yang juga menatapnya dengan kepala tertunduk.

"Ini isi kepalanya butuh di refresh." Ucap Malvian mengetuk jidat Helia.

Helia berdecak, tau kemana topik Malvian tertuju. "Ngga butuh."

"Seminggu aja ambil cuti."

"Ngga ah." Tolak Helia, lagi pula ia mengambil cuti pun tidak tau mau ke mana, yang ada ia semakin stress jika tidak bekerja.

"Sama gue ambil cutinya. Kita ke Jogja mau? Atau ke Bali?"

Helia terdiam sejenak. Jika ia pergi berdua dengan Malvian, kemungkinan besar ia bisa melihat setiap sisi Malvian yang belum pernah pria itu perlihatkan. Jadi, mungkin pertanyaan di otaknya bisa terjawab perlahan.

"Gue tinggal terima jadi kan?"

Malvian mendorong pelan kepala Helia dengan telunjuknya, gemas sekali dengan sahabatnya. "Iya, yang penting lo pulang liburan jangan gini lagi. Jelek tau."

"Heheh oke Ian ganteng." Ucap Helia dengan mencibit hidung Malvian.

"Ke Bali ya. Nanti belanja banyak di sana, boleh kan Ian?"

Malvian berdecak, ada maunya saja Helia bersikap manis. "Iya, lo mau apa aja boleh. Mau beli pulau di sana juga boleh. Asal pulang liburan langsung nikah sama gue."

"Yeu."

Malvian tidak menghindar saat Helia merauk mukanya dengan sebal.
"Oh, gue kawinin dulu aja kali ya."

"Anjing ya otak lo."

Tawa keduanya bersautan, membuat hati Malvian sedikit lebih lega bisa melihat Helia tertawa kembali. Apa pun itu akan Malvian lakukan untuk kebahagian Helia.

―〃

HAAIII TEMANNSS
gimana sama cerita iia ian? seruu gaak? :((

UnnaturalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang