Jun terkejut dengan kehadiran Vanisha yang sudah duduk di ruang tamu. Pagi-pagi buta, gadis itu sudah mengetik sesuatu di laptopnya. "Apa yang kamu lakukan sepagi ini?" tanya Jun duduk di sofa yang lenggang.
Vanisha masih menuliskan sesuatu sampai selesai sebelum dirinya menjawab pertanyaan Jun. "Kurasa aku ada masukan untuk essay penelitian kita. Melihat sifat tetangga di perumahan ini membuatku ingin memasukkannya ke dalamnya."
"Bukankah itu menjadi suatu masalah untuk kita nantinya? Kan kita tidak tahu kenapa mereka menatap kita semua seperti sesuatu yang aneh." Vanisha menaruh penanya setelah memikirkan apa yang dikatakan oleh Jun.
"Kamu ada benarnya. Kita tidak tahu masalah itu," sahut Vanisha yang mengeluarkan sebungkus nasi ke atas piring yang kosong. Dirinya sengaja mengambil dua piring dan sendoknya juga.
Jun membuka bungkusan itu dan ternyata Vanisha membelikan nasi kuning untuk ketiga temannya. "Wah, pagi sekali sudah ada yang jual makanan?" tanya Jun membuat Vanisha mengangguk. Mereka benar-benar terkejut dengan kebiasaan baru. Di kota mereka tinggal untuk kuliah, tepatnya Banjarmasin. Pada pagi hari, apalagi pagi buta tidak ada sekali yang menjual sarapan.
Vanisha bercerita saat dirinya membeli nasi kuning tadi yang sempat ditanya sesuatu oleh pemilik warung, tetapi gadis itu memilih untuk mengatakan hal lain yang membuat Jun teringat sesuatu. "Melihat gelang ibu penjual nasi kuning tadi ... aku terlintas sesuatu pikiran. Gelang itu mirip sekali dengan gelang yang dipakai Sam."
"Maksudmu gelang dengan ukiran aneh itu?" tanya Jun membuat Vanisha mengangguk semangat. Gadis itu kembali bercerita bahwa tidak hanya ibu penjual saja yang memakai gelang, tetapi ada seorang petani dan anak-anak juga turut memakainya.
"Apa mereka sebuah kelompok?" pikir Jun yang terdengar oleh Vanisha, keduanya memikirkan hal yang sama, di sisi lain mereka juga tidak ingin menyalahkan Sam yang termasuk bersama orang-orang itu.
****
Jun menyetir mobil dengan hati-hati menuju rumah Pak Zales. Eve dan Sam juga sudah berada di dalam mobil. Keempatnya memutuskan untuk segera memulai penelitian mengenai Sungai Kahayan itu sendiri.
Rumah Pak Zales memiliki desain yang berbeda dari semua rumah yang ada di perumahan itu. Entah, kenapa hawa rumah tersebut lebih nyaman dirasakan oleh Jun, Vanisha, dan Eve, sedangkan Sam merasakan hawa misterius di sana.
"Silakan masuk, anak-anak," sapa istri Pak Zales, yang biasa disapa oleh para warga di sana sebagai Bu Zales. Senyum ibu itu benar-benar tulus. Di ruang tamu rumah itu terdapat banyak foto yang sulit mereka pahami.
Vanisha dan Eve terlebih dahulu disusul oleh Sam. Jun masih berdiri dan matanya masih berkutat dengan rasa penasaran dengan satu foto di sana. Foto yang cukup menyeramkan di mana ada sebuah mayat yang wajahnya hancur, kulit pucat dengan nadi yang terlihat jelas di sana. Yang satu membuat Jun terkejut ditangan mayat ada gelang yang sama dengan milik Sam.
Pak Zales menepuk bahu Jun dan tersenyum. Pria tua itu paham kemana arah mata Jun. "Dia adalah seorang dari kelompok santet terkenal di kabupaten ini, dan tidak sedikit orang yang bergabung dan melahirkan keturunan."
"Permisi, pak ... apakah boleh saya bertanya sedikit?"
"Bertanya banyak juga boleh, Jun."
"Bisakah bapak cerita apa yang terjadi di rumah kami sebelumnya?" Pak Zales menatap intens Jun yang kemudian beralih menatap ketiga teman Jun lainnya. Bu Zales mengangkat suara saat menemukan sebuah koran.
"Rumah tersebut ditempati oleh sebuah keluarga pada tahun 2001. Berita ini tidak pernah diketahui dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, kalian tidak bisa menemukannya. Di sana terjadi pembunuhan berantai yang dimulai dari sang ayah, hingga anak tertua, dan tengah, hingga tersisa anak terakhir dari keluarga tersebut."
"Anak itu bagaimana nasibnya?" tanya Vanisha tiba-tiba membuatnya meminta maaf kepada wanita tadi. Bu Zales tersenyum dan mengangguk.
"Anak itu sempat dirawat di rumah kami, sebelum akhirnya menghilang. Sosoknya belum ditemukan sampai sekarang, nak." Bu Zales menjadi sedih karena belum bisa menerima hilangnya anak itu.
"Apakah sejak kehilangan anak itu ... rumor yang beredar bahwa setiap hujan akan ada sosok anak kecil dengan kepalanya yang–"
Suara panci jatuh membuat Jun menghentikan ucapannya. Bu Zales terkejut dan berlari kecil ke belakang. Semua orang di ruang tamu beranjak ke dapur setelah mendengar panggilan penuh khawatir dari wanita itu.
Entah dari mana datangnya darah. "Vi, kamu lupa menutup pintu belakang?" tanya Pak Zales mengangkat panci yang sudah berlumuran. Dilihat-lihat, wanita tersebut suka menggantung panci atau wajan agak tinggi dari meja kompor. Jika panci itu terjatuh ada kemungkinan besar, tikus menyenggolnya.
Yang jadi titik permasalahannya, kenapa jatuhnya panci itu bisa berlumuran darah. Bau anyir menyeruak ke seluruh penjuru dapur. Dengan sigap, pak Zales membersihkan panci dengan sabun cuci.
Eve terlihat shock saat mencium bau darah. Bu Zales kembali menyuruh keempat mahasiswa duduk di ruang tamu. "Ngomong-ngomong, apa kalian membuka pintu atau mengintip ke jendela saat hujan deras?" tanya Bu Zales sebelum duduk bersama.
"Tidak, bu. Karena kami sebelumnya sudah membaca rumor tersebut, dan melihat itu kami lebih berhati-hati di sini."
"Syukurlah kalian memahaminya, maafkan ibu belum bisa memberitahukan kalian. Saat baru sampai mungkin menjadi hal berat buat kalian. Rumah tersebut belum terlalu bersih, dan kalian harus merasakan hujan." Bu Zales benar-benar prihatin dengan anak-anak itu.
Vanisha merasa tersentuh dengan ucapan Bu Zales. "Tidak masalah, ibu. Kami di sana menumpang untuk tinggal, jadi kami bertanggung jawab untuk menjaganya." Jun mengangguk.
****
"Baik, ibu, pak. Terima kasih untuk jamuannya. Kami jadi merepotkan kalian," kata Jun dengan sopan sebelum menyalakan mesin mobilnya. Eve menyadari Sam menjadi lebih pendiam daripada sebelumnya.
"Sam, apa kamu sakit? Kenapa kamu diam saja dari tadi?" tanya Eve lalu menaruh telapaknya di jidat Sam. Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak apa-apa, Ve."
Jun tersenyum tipis, ia menjadi tahu yang sebenarnya. "Kita akan mampir ke supermarket sebelum berangkat ke sungai itu." Vanisha mengacungkan jempol, lalu mengacak kembali tas kecilnya.
"Apa kalian melihat ... tidak jadi." Vanisha tersenyum kecil saat sudah menemukan apa yang dia cari. Jun tersenyum dan sesekali melirik ke arah gadis di sebelahnya. Pikirannya jadi kemana-mana setelah melihat Vanisha mengoleskan lip tint nya ke bibir.
***
Jun memberikan sebotol teh melati ke Sam dan menyuruhnya untuk minum. Sam memutar bola matanya malas, ia juga tahu maksud yang lebih tua merujuk ke mana. "Terima kasih," jawab Sam singkat.
Eve tertawa puas melihat wajah Sam yang semakin ditekuk cemberut. "Silakan diminum, wahai pangeran," ledek Eve mendapatkan tatapan tajam dari Sam.
"Silakan dimakan juga, cemilan bawangnya wahai putri raja." Sam tidak ingin kalah, dirinya membuka cemilan rasa bawang ke Eve, ia tahu Eve tidak menyukai bawang terutama bawang putih.
"Apa-apaan!" teriak Eve menjauhkan bungkus cemilan itu. Sam tertawa puas, ia merasa lebih baik mendapatkan teh dibandingkan harus makan cemilan bawang. Jun menggelengkan kepalanya pelan. Dirinya heran dengan di belakang, tetapi syukurlah keadaan tidak canggung seperti tadi.
***
Jembatan Kahayan mulai terlihat dari jauh. Sam membuka jendela mobil menikmati sejuknya udara di sana. Sungai tersebut ternyata tidak memiliki tepian, jikalau banjir, maka air tersebut masuk ke dalam rumah-rumah warga terdekat.
Vanisha tersenyum sebelum membuka pintu mobil. Jun menghentikan mobilnya jauh dari jembatan karena tujuan mereka utama adalah sungai itu terlebih dahulu. Eve terjongkok, tangannya menengadah untuk mengambil air sungai yang bisa terbilang cukup jernih.
Seorang pria paruh baya menghampiri keempat mahasiswa tersebut. "Permisi, anak-anak. Ada urusan apa kalian datang kesini?" tanyanya dengan suara yang sedikit serak.
"Maaf, pak sebelumnya. Kami ada penelitian sungai Kahayan."
"Kalian datang saat terjadi kematian seseorang di sungai ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Palangkaraya : The Curse of Kahayan [Segera Terbit]
Horror"Jangan heran jika kalian selalu mendengarku berbicara tentang kota gaib dan membicarakan penghuni disana. Karena mereka sedang bersama-sama dengan kita." Teriakan minta tolong mungkin tidak pernah mereka dengar-suara-suara itu berasal dari bawah je...