▫️Bab 14 ▫️

15 6 0
                                    

Matahari mulai terlihat menghangatkan halaman rumah, tetapi dua mahasiswa masih bertaut dengan artikel dan pencarian di internet. Mereka mencoba mencari berita yang terjadi baru-baru ini, namun tidak menemukan jejak Sam. Halaman internet mereka masih menunjukkan berita pembunuhan yang sama.

“Jun, aku melihat sosok pemuda nya?!” seru Vanisha menunjukkannya sebuah foto buram yang terlihat di ambil dari jarak jauh. Jun menggeleng dan mengatakan kalau di foto itu bukan Sam, karena Sam terakhir kali menggunakan kaos coklat dengan jaket yang biasanya dia pakai. Jun juga menjelaskan kalau Sam tidak menyukai celana panjang.

Vanisha yang mendengar itu jadi teringat dengan kejadian sebelumnya. Sam sempat menutupi kepalanya dengan jaket kesukaannya. “Tunggu!”

Jun kembali menatap Vanisha yang terlihat memikirkan sesuatu. Jarinya yang sedari tadi berkeluh mengetik naskah penelitian harus terpaksa berhenti. “Apa Sam meninggalkan ponselnya?” tanya Vanisha yang langsung mendapat gelengan.

“Tidak, aku sudah mencoba menelpon nomornya, namun ia sedang berada di luar jangkauan. Bahkan nomornya terlihat tidak aktif atau hangus. Kurasa ya kita tidak salah berpikir seperti kemarin.”

Dugaan mereka benar jika Sam sudah berada di alam gaib. Ponselnya mungkin hidup di alam sana, tetapi tidak terhubung sama sekali dengan dunia manusia. Pak Zales sempat mengatakan untuk bisa keluar dari kota gaib adalah orangnya itu sendiri harus bisa menahan hawa nafsu terhadap kemegahan di sana. Jika orang tersebut tergoda dengan emas dan segala yang tidak bisa didapatkan di dunia manusia, maka selamanya tidak akan bisa kembali. Sekali mencoba, langsung terjebak selama-lamanya.

"Aku hanya berharap Sam tidak begitu tergoda dengan apa yang ada di sana."

"Tidak, Jun. Aku yakin sekali Sam bukan orang yang seperti itu. Ya, aku tahu sih di antara kita yang paling kaya kalau bukan Sam siapa lagi," sahut Vanisha sambil menggeser laptop lelaki itu kembali.

Penelitian mereka sedikit lagi selesai ditulis. Hanya saja mereka masih butuh materi baru untuk memperlengkap.

Gesekan pintu membuat Vanisha dan Jun melirik ke arah pintu kamar. Eve mengucek matanya pelan lalu duduk di sofa. Piyama yang berantakan segera dirapikan oleh Vanisha. Untungnya Jun tidak melihat lagi kondisi Eve yang baru bangun tidur.

"Apa kamu sudah nyaman?" Eve hanya mengangguk, dan menerima segelas coklat hangat yang baru saja dipanaskan kembali. Jun meringisi melihat Eve yang meminumnya panas-panas tanpa meniupnya terlebih dahulu.

Eve bercerita dirinya sempat terbangun di kamar tadi sesudah Vanisha keluar dari kamar. Perempuan itu lebih menceritakan apa yang dia lihat, hingga siluet yang terulang terus-menerus membuatnya tidak bisa membedakan yang namanya mimpi dan kenyataan.

"Maksudmu? Casa berada di kamar mu?" tanya Vanisha sedikit heran, pasalnya kamar Jun terbuka dari tadi untuk memantau Casa, dan belum ada pergerakan Casa yang keluar dari kamar.

"Aku juga tidak yakin itu Casa. Tetapi ... dari perawakan dan suaranya memang mirip Casa. Dia meminta tolong padaku. Suaranya terlihat sendu seakan benar-benar butuh pertolongan.

Eve sedikit menggigit bibirnya kembali takut. "Tenanglah, Ve. Mungkin itu karena kamu masih dalam kondisi mengantuk." Jun mencoba menenangkan Eve, ia sendiri khawatir karena dua orang di antara mereka mengalami teror yang semakin lama semakin mengerikan.

Eve berulang kali teriak histeris di kamarnya, arwah yang merasuki Eve selalu mengatakan untuk menjauhi anaknya. Vanisha menjadi tidak paham dengan maksud 'Anaknya'

Sam sebelum menghilang juga kedapatan berdiri di dapur melamun sambil bergumam. Di tangannya sering memegang gelas yang entah untuk apa. Vanisha lah yang sering memergoki Sam dalam kondisi tersebut.

Jun juga sering mendengar Sam bergumam tentang bunuh diri di belakangnya saat tidur. Tetapi apakah itu Sam yang sesungguhnya?

Eve pamit untuk membersihkan diri karena hari sudah mulai panas. Matahari pagi perlahan mulai menghilang. Ketiganya memutuskan untuk mengunjungi rumah keluarga Zales lagi.

****

Eve berniat menggunakan sisir milik Vanisha yang tergeletak di meja rias di ruang tengah. Sambil merapikan rambutnya, Eve kagum dengan ukiran sisir tersebut yang ternyata bisa sebagai susuk.

Perlahan Eve menyisirkan rambutnya. Ia sudah mengoleskan vitamin rambut terlebih dahulu. Vanisha yang keluar kamar dengan menenteng tas terkejut dengan sisir yang digunakan oleh Eve.

"Dapat dari mana sisir yang kamu pakai?" Pertanyaan Vanisha membuat Eve berhenti menyisir. Ia melihat sisir itu dan menatap Vanisha dari cermin.

"Aku kira ini milikmu. Karenanya aku langsung menggunakannya," jawab Eve langsung menaruh begitu saja sisir tadi.

"Sisirku tidak ada yang dari kayu, Ve. Itu sisir yang sudah ada di meja ini mungkin." Eve mengangguk ucapan Vanisha dan beranjak berdiri.

Sebelum menyusul Eve yang mendahuluinya, Vanisha merapikan meja tersebut. Ia hampir melupakan sebuah foto keluarga pemilik rumah tersebut.

"Casa?" Vanisha terkejut dan menemukan jawaban kenapa Casa sangat takut untuk mendekati meja rias yang tergeletak foto ini.

"Tidak, kak. Aku takut."

"Kakak bisa ambilkan sisir di sana?"

"Kak, takut lewat meja itu."

Vanisha seketika menjadi merinding. Tidak menyangka sama sekali kalau anak itu adalah pemilik rumah ini.

Ia sendiri juga bingung kenapa Casa bisa sangat tahu mengenai pohon pepaya dekat rumah selalu segar dan manis. Jika ia pemilik rumah tersebut seharusnya ia mengatakan dari awal.

"Berarti saat dia mengatakan orang tuanya sudah mati, itu tandanya dia yang akan dibunuh selanjutnya. Aku mengerti kenapa dia selalu diincar oleh arwah gelap."

"Dan aku masih belum memahami maksud mimpi Eve. Aku yakin ada hubungannya. Keduanya bertemu anak kecil dengan kejadian yang sama?"

Teriakan Jun memanggil Vanisha membuat gadis itu dengan cepat menaruh foto tadi kembali ke atas meja. Vanisha semakin curiga dan takut jika selama ini mereka menerima dan merawat anak yang diincar.

Mereka akan semakin diteror jika terus bersama anak itu. Vanisha hampir saja melupakan panggilan Jun.

"Iya, Jun. Sebentar!"

Sedikit berlari dengan menenteng tasnya yang sempat ia taruh, Vanisha menutup pintu rumah. Ia juga mengingat apakah sudah mematikan kompor apa belum.

"Apa ada yang ketinggalan?" tanya Jun khawatir karena Vanisha di dalam rumah cukup lama. Vanisha yang ditanya hanya berdehem.

"Iya, ada yang ketinggalan, Jun."

"Kamu kelihatan dingin. Ada masalah?" Vanisha sudah menduganya. Jun benar-benar tahu apa yang terjadi dengannya. Jun melirik ke arah Casa karena Vanisha memberikan kode kecil.

Jun menatap wajah Vanisha cukup lama. Rahang perempuan itu sedikit keras, antara takut dan emosional.

"Baiklah. Mari kita berangkat." Jun mulai menyalakan mesinnya. Eve mencoba melupakan kejadian tadi malam karena dirinya tidak tega melihat senyuman Casa yang mengajaknya bermain.

Semua tatapan tetangga yang berada di luar rumah membuat ketiganya merinding. Jun melihat tatapan orang-orang yang memandang Casa.

Walaupun kaca mobil tertutup, Jun tidak sebodoh itu memahami keadaannya. Mungkin itulah alasannya kenapa Vanisha menjadi sedikit tidak banyak bicara ketika Casa mengajaknya berbicara.

"Casa, mungkin kak Vanisha lagi capek. Casa sayang cerita-cerita aja ya ke kak Eve. Kak Vanisha juga dengerin, kok."

Casa hanya mengangguk dan tidak berani melihat ke luar jendela mobil. Vanisha mencoba menenangkan Jun dan memastikan mereka bisa keluar dari sana.

"Aku tahu, Van. Terima kasih sudah menenangkanku. Mungkin napasku akan sedikit tercekat jika kamu tidak ada di sampingku."

"Keinginanku adalah menyelesaikan penelitian ini, Jun, dan aku ingin kita tetap bersama sampai selesai. Sam ... kita tetap harus menemukannya."

"Kamu benar. Aku juga ingin meminta maaf. Perasaanku sedikit kasar sudah membentaknya waktu itu." Vanisha tersenyum dan membiarkan Jun menyetir dengan nyaman.

Palangkaraya : The Curse of Kahayan [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang