"Kita sebenarnya sudah bertemu dengan sosok utama dari semua berita yang kita baca, dan semua itu tidak memungkiri kalau Sam juga tetap keturunan keluarga itu. Dia selamanya akan terjebak."
Vanisha tidak setuju dengan perkataan Jun. Bukannya ia mendukung kalau Sam itu baik. "Baiklah, aku bukannya mendukung dia. Tetapi kita tidak tau sifat seseorang kedepannya seperti apa."
"Apa kamu tidak melihat dia saat masa lalu?" tanya Jun kembali. Vanisha jadi teringat raut wajah Sam kecil yang begitu sangat kejam.
Eve yang sedang memperbaiki dokumen penelitian mereka cukup tercengang dengan pembahasan kedua temannya di depan. Pasalnya Jun dan Vanisha tidak pernah berdebat begitu rapi.
"Kalian sudah minum boba?" Jun terlebih dahulu menatap Eve yang mengambil boba milik Vanisha, membuat lelaki itu memberi kode di depannya.
"Ve, itu milikku." Eve dengan jahilnya menjauhkan minuman Vanisha. Jun tertawa kecil melihat interaksi keduanya.
"Hai, kalian semua ... tugas sebentar lagi akan selesai deadline-nya. Bagaimana dengan kalian? Kurasa kalian tidak dapat menyelesaikannya." Ledekan Lova membuat ketiganya menoleh ke belakang.
Perempuan dengan balutan blazer tipis, celana yang sedikit ketat membuat Jun meringis melihat cara berpakaiannya. "Ouh, ya? Bagaimana dengan tugasmu yang cepat selesai itu, apakah kritis? Oh, atau ... kamu tidak mau mengeksplor dan memilih untuk mengambil daerah di Banjarmasin. Lebih kasihan dirimu ini." Perkataan Vanisha menusuk jantung Lova, gadis itu sendiri tidak menyangka kalau ketiga orang di depannya begitu tau.
"Dasar kalian!" teriak Lova meninggalkan tempat itu. Seluruh orang yang di cafetaria menorehkan pandangan mereka sebentar sebelum fokus kembali ke aktivitas masing-masing.
Walaupun tanpa Sam, ketiganya mencoba tegar dan melupakannya. Jun merasa tidak perlu mencari keduanya, melainkan salah satunya saja. Ia begitu kecewa dengan Sam yang menyembunyikan semuanya.
Dugaannya memang benar. Rumah di depan kostan nya hanya bisa dilihat oleh orang Indigo seperti dirinya, namun kenapa Sam juga bisa melihatnya. Perkataan Sam saat menjelaskan rumah tersebut dengan detail membuat Jun jadi semakin yakin dengan keraguannya. "Tidak salah jika aku mencoba mempercayai ucapannya. Yang dikatakan Sam adalah masa lalu keluarganya."
Bisikan Jun didengarkan oleh Vanisha yang notabennya berada di sampingnya. Eve tersenyum mencoba memberikan semangat. "Teman-teman, kita pasti bisa membuktikan ke mereka."
"Kamu benar."
****
Saat sudah sampai di depan ruang Dosen untuk mengkonfirmasi tugas mereka sebelum dipresentasikan, Jun menjadi ragu untuk membuka pintu itu. "Jun, kita bisa."
Mendengar ucapan Vanisha, Jun menarik napasnya dan membuka pintu tersebut. Pak Jumadi yang sedang berbicara dengan asistennya. "Permisi, pak. Permisi, kak."
Pak Jumadi tersenyum dan mempersilakan asistennya yang juga kakak tingkat ketiga mahasiswa tadi keluar. Jun tersenyum tipis menyembunyikan gugupnya. "Kalian kelompok yang terakhir mengkonfirmasi tugas. Walaupun begitu bapak tidak mempermasalahkannya. Presentasi nanti itulah deadline konfirmasi tugas."
Beruntungnya sebelum mengumpulkan Essay, Eve menyetaknya sebagai buku tipis. "Buku essay yang cukup bagus dan niat. Semoga isinya sama niatnya seperti sampulnya."
"Kalian mendapatkan kota Palangkaraya, dan mengambil sungai dan jembatan Kahayan. Sangat menarik." Pak Jumadi tersenyum lebar melihat judul essay kelompok itu. Jun saling menatap kedua temannya.
"Ouh, iya. Sebelum bapak membacanya. Kalian bisa duduk di sofa di belakang," suruh Pak Jumadi sebelum membalikkan halaman baru. Ketiga mahasiswa tadi menurut perintah dosen mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Palangkaraya : The Curse of Kahayan [Segera Terbit]
Horror"Jangan heran jika kalian selalu mendengarku berbicara tentang kota gaib dan membicarakan penghuni disana. Karena mereka sedang bersama-sama dengan kita." Teriakan minta tolong mungkin tidak pernah mereka dengar-suara-suara itu berasal dari bawah je...