Suasana rumah semakin mencekam, para warga tidak memperdulikan ancaman orang tadi dan terus melanjutkan langkahnya untuk menghancurkan rumah pak Zales. Entah siapa yang berteriak tadi karena suara itu tidak terdengar lagi.
Kaca jendela sudah hancur parah, dan membuat salah satu warga bisa membuka knop pintu dengan mudah. Bahkan beberapa di antara tidak mempedulikan dirinya terluka karena benda tajam. Tatapan kosong selalu nampak seperti ada yn
Casa terlihat bahagia membuat Vanisha bingung. Ia sangat senang sambil bertepuk tangan kecil melihat warga itu. Jun ingin sekali bertanya, namun situasinya sendiri pun tidak memungkinkan.
Beberapa warga mulai melihat gerak gerak keenamnya, dan mulai berganti arah jalan. Golok yang semula diturunkan kini diangkat. Pak Zales yang sudah berada di dalam mobil segera menyuruh yang lain segera masuk.
Dengan tergesa-gesa, pak Zales menyalakan mesin mobil dan segera melaju. Beruntungnya perumahan tersebut memiliki jalan memutar menuju gang lain. Eve melihat ke belakang para warga mulai berbalik arah.
"Apa yang sebenarnya terjadi, pak?" tanya Vanisha setelah melihat kondisi mereka sudah cukup jauh dari perumahan itu. Pak Zales menurunkan kecepatan agar tidak terlalu bising.
"Sebenarnya ini diluar dugaan kami. Kami cuma berharap para warga hanya membuang rongsokan di depan rumah. Mereka yang mulai menghancurkan rumah, itu kami tidak tahu sama sekali."
"Kalian kan pembunuh dukun santet seperti mereka. Kenapa kalian tidak melawan?" Jun sedari tadi berpikiran seperti itu, namun baru bisa mengatakannya setelah mendapatkan suasana yang sesuai. Yang dikatakan Jun memang masuk akal. Keluarga Zales merupakan pembunuh dukun santet, seharusnya mereka bisa melakukannya dengan cara apa pun
"Para warga akan lebih kuat jika bersama-sama seperti tadi. Kami tidak mampu melawan karena kami tidak memiliki orang lain," jawab Bu Zales sambil menghentikan tepuk tangan Casa yang tidak mau berhenti.
Vanisha menjadi mencurigai Casa karena itu. Casa menjadi bertindak aneh saat terbangun. Ada rasa senang mendengar suara rongsokan yang dihancurkan oleh warga. Bahkan sebelum itu, Casa sangat menyukai film yang penuh darah.
Bu Zales tersenyum seakan dapat jawabannya. "Nanti kamu akan dapat jawabannya."
"Casa, kamu kenapa?" tanya Vanisha memberanikan diri untuk bertanya. Senyum anak itu terlihat lebih seram, bukan senyum yang bahagia, melainkan senyum mengerikan dengan makna yang cukup dalam di baliknya.
"Tidak apa-apa, kak. Aku hanya senang melihat mereka seperti itu. Casa senang melihat mereka mati." Jawaban Casa membuat semua orang merinding. Tidak seperti biasanya, anak kecil mengatakan hal yang keji.
Bu Zales yang semula tenang sekarang terlihat begitu panik. Mukanya sangat pucat. Wanita tua itu terus menatap Vanisha secara bergantian. Seolah ada yang ingin dibicarakan.
Casa sekarang terlihat berbeda, seperti ada yang mengendalikan diri anak itu. Vansha juga berpikir ke belakang, mengingat kejadian yang sudah terjadi. Casa sangat cepat beradaptasi, namun juga banyak tahu mengenai ketiganya. Sedangkan, Jun ... keduanya sedikit lambat dalam komunikasi. Tetapi belakangan ini, keduanya mulai melonggar.
Semua itu menjadikan pikiran yang begitu rumit, Vanisha terus bertanya-tanya kepada dirinya. Siapakah pelaku di antara semuanya ini? Kenapa semua gerak-geriknya seakan memberikan kode kalau pelakunya terjadi di sekitar mereka.
****
Pak Zales membawa semuanya menuju ke jembatan Kahayan. Kini mereka berada di pinggir jembatan. Jun menaruh kepalanya di pagar jembatan tersebut, ia sedikit merasakan kakinya nyeri karena luka tadi. Lelaki tersebut semakin tertekan dan bingung, penelitian mereka yang seharusnya berjalan lancar harus berkorban dan ikut campur dalam setiap permasalahan.
"Jun, kamu ingat pertama kali kita bahas mengenai daerah yang mau kita ambil buat penelitian?" Jun menatap Vanisha yang mendekatinya, dan ia mengangguk.
"Bagaimana sungai Kahayan? Bukannya itu sangat banyak sekali rumor dan urban legend? Kesana saja, ya." Rengekan Sam membuat yang lain gemas dengan sikapnya. Jun menggelengkan kepalanya, namun ia juga setuju.
"Kenapa kamu semangat bener kalau ke Palangkaraya?" tanya Eve karena mengetahui keempatnya belum pernah ke sana. Namun, Sam menatap Eve dengan tatapan bingung.
"Aku belum kasih tahu kalian, ya?"
Pertanyaan Sam membuat ketiganya menatap dirinya dengan intens. Eve mengangguk, setahu dia, Sam juga belum pernah ke Palangkaraya.
"Yah, kukira kalian sudah tahu. Aku pernah ke Palangkaraya sebelumnya. Masa kalian lupa?"
"Kamu belum ngasih tahu kita soal itu, Sam. Ya mana mungkin kita tahu."
"Liburan?" tanya Jun fokus mencoba menggali informasi tentang sungai Kahayan. Sam menutup separuh laptop itu dan tersenyum. Pertanyaan Jun membuat seisi kelas menoleh keempat mahasiswa tersebut.
"Karena pekerjaan orang tuaku."
'Orang tua Sam?'
"Jawaban dia cukup ambigu, Jun. Kita mengenalnya sebagai anak yatim piatu, dan kita sudah membantunya banyak sekali." Vanisha menghela napasnya entah untuk yang keberapa kalinya.
Jun menggenggam erat tangan Vanisha di sebelahnya. "Kuharap kita bertiga tetap bersama sampai akhir. Jika memang Sam akan kembali, mungkin sudah saat untuk–"
"Jun!" Panggilan Pak Zales membuat Jun menghentikan ucapannya dan berbalik ke belakang. Pak Zales tersenyum bangga dan mengatakan akan mengantar kembali ke rumah setelah mencari tahu jalan lain agar tidak bertemu kepungan warga.
"Baiklah, pak." Vanisha mengangguk setelah melihat kode dari Jun untuk segera masuk.
****
Pak Zales mengatakan kalau perjalanan cukup jauh, karena memang membutuhkan jalan yang tepat. Jun sendiri menjelaskan tentang penelitiannya begitu pria tua di sebelahnya menanyakan tugas mahasiswa itu.
"Ada yang kurang?" tanya Pak Zales melihat raut gugup Jun yang tidak bisa melanjutkan penjelasannya. Jun yang mendengar itu mengangguk kuat dan menatap Vanisha yang duduk di belakang jok pengemudi.
"Apa kami boleh menambahkan kejadian ini?" Pak Zales tersenyum, dan memberikan sebuah flashdisk yang tidak diketahui isinya oleh Jun, namun pemuda itu tetap menerimanya. Mungkin isi flashdisk berisikan informasi penting.
"Tambahkan lah sesuai yang kamu mau. Kalian merasakannya sendiri. Melihat semua kejadian, mendengarkan fakta yang membuat kalian takut, dan satu lagi kalian merasakan mimpi mereka."
"Mereka?"
"Kalian merasakan arwah yang meminta tolong ke kalian agar bisa memperbaiki semuanya." Jun masih tidak memahami maksud Pak Zales. Arwah siapa yang dimaksud di sini. Vanisha begitu capek dengan semua orang di sini. Kenapa mereka saling menutupi sesuatu yang seharusnya mereka bagi untuk memperbaiki semuanya.
Vanisha tidak menyadari kalau Casa tersenyum tajam, dengan bola mata yang memutih, andaikan Vanisha melihat mungkin dia satu-satunya yang bisa melihat keadaan itu. Jun merinding dengan Casa yang berubah wujud tiba-tiba, hanya saja Casa lebih memilih untuk menyerang Vanisha.
Jun mengecek ponselnya. Tidak ada jaringan internet apa pun. Benar-benar tidak ada sinyal sama sekali. Melihat keadaan jalan terlihat tiang listrik yang mungkin tersambung dengan tiang internet. Kejanggalan membuat Jun melirik ke Pak Zales yang santai menyetir.
****
Hampir tiga jam perjalanan memutar pedalaman. Tiba-tiba saja Casa tersenyum dan kembali bertepuk tangan saat mobil melewati sebuah gubuk yang lumayan jauh dari jalan perumahan. Gubuk itu satu-satunya sebuah rumah yang ada di pinggir jalan. Selama perjalanan hanya ada pepohonan dan pagar-pagi bambu yang menjulang. Entah, tempat apa ini yang pasti hanya Pak Zales yang mengenalnya.
"Apa yang membuatmu senang, Casa?" tanya Eve yang sedikit merinding setiap kali anak itu bahagia dan tertawa tiba-tiba. Casa mengangguk dan menunjuk belakangnya.
"Dia menungguku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Palangkaraya : The Curse of Kahayan [Segera Terbit]
Horror"Jangan heran jika kalian selalu mendengarku berbicara tentang kota gaib dan membicarakan penghuni disana. Karena mereka sedang bersama-sama dengan kita." Teriakan minta tolong mungkin tidak pernah mereka dengar-suara-suara itu berasal dari bawah je...