Langkah itu semakin berat untuk memijakkan setiap anak tangga jembatan. Ia berada di trotoar jembatan. Sam benar-benar kebingungan. Ia terus berjalan membiarkan titik air hujan membasahi kepalanya. Kerudung tidak mampu menahannya lagi. Bajunya sangat basah sampai kaos dalam tercetak dengan jelas.
"Jun, maafkan aku ... bawa aku pulang." Tanpa disadari oleh Sam, dirinya sudah berada di dunia lain bukan di jembatan yang sama. Menangis tidak ada gunanya sekarang, karena yang ia temui adalah hutan belantara dengan sebuah gerbang mewah. Tidak ada lagi mobil atau kendaraan yang berlalu-lalang. Namun, ia kini berjalan di sebuah tanah bersih tanpa daun berguguran.
Sam menjadi bingung dengan pakai mewah yang digunakan warga di sana. "Permisi?" tanya lelaki itu namun tidak ada satupun yang memedulikan ucapannya. Ia terus mencari perhatian orang-orang di sana, tetap saja nihil. Ada seorang kakek dengan pakaian putih, tangannya terpaku dengan tongkat berlapiskan emas. Langkah yang kuat mendekati Sam.
"Nak, tempatmu bukan di sini."
Dalam hati Sam ingin mengumpat karena kesal. Dirinya juga tahu kalau tempatnya bukan di kota ini. Di sisi lain, Lelaki itu juga terbuai dengan keindahan dan kemegahan kota di sana. Ada beberapa gedung yang tidak bisa ia lihat di dunia manusia.
"Iya, aku tahu, kek. Tapi apakah kakek bisa jelaskan ini apa?" Kakek itu menggeleng pelan membuat Sam kecewa. Kini orang yang mengajaknya bicara, tidak ingin memberikan jawaban atas pertanyaannya.
"Aku Peringatkan sekali lagi, wahai anak muda. Tempatmu bukan di sini."
"Bagaimana jika aku tidak ingin pergi?" tanya Sam membuat tatapan kakek menjadi sarkas seolah tidak menerima dengan attitude Sam yang bertolak belakang dengan keinginannya.
"Kamu harus pergi ... wahai kaum dukun," lanjut kakek itu lalu menepuk bahu Sam dengan pelan dan berjalan kembali meninggalkan lelaki itu. Sam berbalik menatap punggung kakek tadi, dan menunjuk dirinya sendiri.
'Dukun? Maksud kakek itu apa?'
****
Jun menatap Casa cukup intens, melihat anak itu makan buah pepaya dengan lahap seperti belum makan selama 3 hari. Ia menjadi kasihan melihat tubuh Casa yang sedikit kurus. "Halo, Casa." Sapaan Jun membuat Casa menoleh. Pipinya menggembung karena mengunyah potongan pepaya segar.
Walaupun anak itu tidak membalas senyumannya, Jun tetap merasa senang. Ia masih memikirkan Casa yang sedikit canggung dengannya, tidak seperti Vanisha dan Eve sudah bisa mengajak ngobrol anak itu. Bahkan ketika ditanya apa makanan atau buah favoritnya, Casa bisa menjawabnya. Buah kesukaan anak itu adalah pepaya.
Eve sempat tersenyum canggung mendengar jawaban Casa ketika ditanya mengapa menyukai pepaya. Entah, kenapa aura negatif lebih ada saat Casa mengatakan kalau buah pepaya adalah buah terakhir sebelum orang tuanya meninggal.
Vanisha paham apa yang dibutuhkan oleh Jun, ia memutuskan untuk menyuruh Casa untuk tetap di tempat dan ditemani oleh Jun. Anak manis itu hanya menganggukkan kepalanya, dan sedikit melirik ke arah Jun yang sedang fokus membaca sebuah artikel.
"Kak?" panggil suara lembut itu membuat Jun mendongakkan kepalanya melihat siapa yang memanggilnya. Di ruangan hanya ada dirinya dan Casa, namun ia masih tidak yakin apakah anak itulah yang memanggil diriku.
"Casa, apa kamu yang memanggilku?" tanya Jun menaruh laptopnya. Casa yang tadi melihat ke arah lain, kini kembali menatap yang lebih tua dengan menganggukkan kepalanya pelan.
"Ada apa, Casa sayang?" tanya Jun lagi dengan lembut. Casa hanya menunjuk ke arah cermin meja rias membuat Jun tidak mengerti apa maksudnya. Namun, yang lebih tua mencoba melihat kembali arah yang ditunjuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Palangkaraya : The Curse of Kahayan [Segera Terbit]
Ужасы"Jangan heran jika kalian selalu mendengarku berbicara tentang kota gaib dan membicarakan penghuni disana. Karena mereka sedang bersama-sama dengan kita." Teriakan minta tolong mungkin tidak pernah mereka dengar-suara-suara itu berasal dari bawah je...