Suasana perumahan menjadi sepi sekali. Barang-barang seperti sofa, kursi makan, bahkan meja kayu dikeluarkan di halam rumah masing-masing. Semua orang heran dengan suara tawa dari Casa. Anak itu tertawa kencang sekali sambil menunjuk ke rumah. "Kalian tidak bisa merasukiku lagi."
Vanisha mengelus lengannya yang merinding. Ia masih tidak mengerti apa permasalahan di antara mereka semuanya. Hubungan yang seharusnya tidak terjadi membuat mereka terpaksa masuk ke dalamnya.
Warna suaranya berubah menjadi seperti orang tua. Casa perlahan mengeluarkan air mata darah, dan terus menyuruh seseorang keluar dari rumah itu. Hampir 15 menit berlalu, suasana menjadi begitu tenang. Tidak ada yang keluar dari rumah tersebut sama sekali. Jun dan Vanisha tidak menyadari kalau salah satu dari mereka menghilang. Bersamaan dengan kepergian Casa. Helaan napas terdengar jelas di balik sunyi.
Rumah itu seketika memperlihatkan suasana beberapa tahun yang lalu. Keempatnya melihat sebuah keluarga harmonis. Vanisha tersenyum kecil melihat Casa dengan sang kakak perempuannya yang sedang menulis sesuatu di sana. Anak lelaki keluarga tersebut asik bermain sebuah video game tanpa peduli saudara-saudaranya.
Kepala keluarga begitu menghargai istrinya yang sudah mengambilkan sarapan. Jun mendekati sebuah kalender yang menunjukkan hari minggu. Pak Zales ingin sekali menangis melihat keluarga adiknya sendiri. Ia hanya mengetahui keluarga ini sangat harmonis, bahkan berniat untuk membunuh dukun santet saja tidak begitu yakin.
Casa berlari ke dalam dan berteriak ke orang tuanya kalau para warga datang. Kalung dan gelang itu membuat kedua mahasiswa percaya dengan semua alur cerita yang pernah didengarkan mereka. Kaca rumah itu dihancurkan dengan tiba-tiba menggunakan palu. Pecahan kaca hampir saja mengenai anak perempuan keluarga tersebut. Ketakutan mulai terjadi di mana-mana. Seringai para warga yang membuat Casa dan kakak perempuannya bersembunyi di belakang sofa.
Tembok dinding itu dihancurkan hingga debu bertebaran di mana-mana. Pria paruh baya menghentikan acara makannya dan mencoba bertanya baik-baik kepada para warga itu. Namun, bukannya mendapatkan jawaban, pria tadi didorong ke meja makan hingga meja itu tidak lagi berbentuk. Sang istri membantu suaminya berdiri lagi.
"Tolong buhan kam menjauh haja. Apa rang salah keluarga ulun ni. Adakah!" teriak wanita tersebut yang mencoba mengusir para warga. Anak lelaki yang semula bermain game harus terpaksa bersembunyi di belakang punggung ibunya.
(Tolong kalian menjauh saja. Apa salah keluarga saya ini. Adakah!)
Pak Zales menutup mulutnya tidak percaya apa yang sedang ia lihat. Para warga mencoba ingin membunuh adiknya, namun terhentikan dengan sosok arwah yang membuat ibu di keluarga itu mencuri palu dan segera mengayunkan ke dada suaminya.
Sang istri menatap kematian suaminya dengan tatapan kosong, dan merasa tidak bersalah.
Melihat itu semua, para warga segera berlarian keluar menghindar serangan. Ada satu anak kecil yang tersenyum kepada Casa. "Bukankah itu Sam?" tanya Jun membuat Vanisha menatap arah telunjuk Jun. Terdengar teriakan warga yang bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Masalah apa yang harus merek
"Ya ampun!"
Walaupun keempatnya berada di ingatannya Casa, dan menjadi tembus pandang. Mereka berusaha menghindar hingga terusir keluar. Darah berada di mana-mana, wanita itu juga membunuh dirinya sendiri setelah melihat keluarganya mati karenanya.
Pak Zales mengangkat suara bahwa ia tidak tahu sama sekali kematian keluarga adiknya seperti apa. "Ketika kalian membawa Casa kepada kami, kami sudah menyadari kalau ada yang tidak beres dengan rumah tersebut."
"Pak, lalu kenapa kalian menyembunyikannya?" Pak Zales menggelengkan kepalanya. Bu Zales melihat semuanya terkulai lemah. Ia tidak sanggup dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
"Aku mohon jangan terulang kembali kejadian lima tahun yang lalu." Vanisha mencoba memahami kenapa Casa memiliki tubuh yang sama seperti masa kecilnya. Jika ia seumuran dengan Sam, berarti Casa memiliki usia yang sama dengan dirinya dan Jun.
Kini keempatnya bisa melihat rumah itu sudah kembali seperti sedia kala. Bersih dengan kertas penelitian mahasiswa tersebut. "Di mana teman kalian?" tanya Bu Zale menyadari seseorang yang hilang. Vanisha berbalik ke belakang, dan tidak menemukan Eve sama sekali. Dirinya yakin kalau Eve selalu bersembunyi di belakangnya.
***
Bu Zales menuangkan air panas ke sebuah teko yang sudah disiapkan oleh Vanisha. Wanita itu menatap lesu perempuan di sebelahnya yang sedang membuat roti panggang dari roti yang tersisa.
"Mungkin kamu sedikit terkejut mengenai hilangnya dua temanmu."
"Tapi Sam bukan temanku lagi," jawab Vanisha yang terlihat kesal ketika Bu Zales menyebut nama 'Sam'. Namun, wanita tadi menghargai dan kembali memasukkan gula ke cangkir yang lain.
"Ya, ibu tahu. Baiklah, ibu akan bertanya soal Eve ...."
"Ibu, sebelumnya aku ingin bilang terima kasih sudah merawat dan menjaga kami sebelumnya. Tapi kenapa kami harus terlibat dengan masalah kalian?" Pertanyaan Vanisha membuat Bu Zales tersenyum tipis.
"Kami sebenarnya tidak tahu hubungan kalian dengan masalah ini. Ibu bisa simpulkan kalau temanmu Sam adalah yang pertama kali melihat sosok anak kecil tanpa kepala, dan dia juga merupakan keturunan dukun santet. Kemungkinan anak itu adalah Casa."
"Casa? kenapa bisa?" Vanisha kembali bingung dengan semua percakapan keduanya. Perempuan itu berharap semua ini akan selesai. Batas penelitian mereka akan segera berakhir. Mereka sudah menghabiskan waktu sebulan lebih. Butuh 2 minggu untuk menjawab semuanya. Kota Palangkaraya seharusnya menjadi tempat yang nyaman sekaligus menjadikan liburan.
"Dia satu-satunya yang tidak dibunuh oleh ibunya. Karena dia sudah meninggal saat terjebak di kota gaib. Entah, kenapa dia bisa keluar ke dunia ini, dan hidup dengan bentuk tubuh masa kecilnya. Apa kalian bertemu seseorang sebelumnya di perumahan yang berada di bawah jembatan?"
Vanisha menganggukkan kepalanya, "Seorang wanita."
"Mungkin itu adalah ibunya Casa? Ibu juga tidak tahu apa pun mengenai ini. Jika Sam berhasil keluar dari kota gaib itu ... dengan cerita yang beredar, kalian akan selamat." Mungkin terdengar tidak masuk akal, namun itulah yang hanya dipahami oleh Bu Zales.
"Tapi, ibu ... dia dalang di antara kita semua, tidak mungkin begitu." Bu Zales berpikir kalau Vanisha masih belum memahaminya.
"Sam ... dialah orang yang bisa mengatur para warga. Dia yang-"
"Maaf, bu. Rotinya hampir gosong," potong Vanisha terkejut saat membalikkan rotinya yang ternyata hampir menuju kehitaman. Bu Zales tersenyum, dan izin untuk membawa nampan ke depan. Cuaca mulai mendung. Awan hitam menggumpal di atas, beberapa kali cahay kilat mulai muncul.
Jun melanjutkan pembicaraannya dengan Pak Zales mengenai penelitian. Lelaki itu hanya ingin menenangkan diri, dan melupakan kejadian sebelumnya sejenak. Sama seperti Vanisha dirinya ingin beristirahat. "Aku berharap penelitian ini cukup baik," tukas Jun mendapatkan senyuman dari yang lebih tua.
"Kalian sudah melakukan yang terbaik, dan ... bapak berharap teman kalian bisa kalian selamatkan sebelum pulang ke banjarmasin."
"Hanya untuk Eve ...."
"Tapi, Jun, dia-"
"Maaf, pak. Tidak lagi ...." Pak Zales mengangguk pelan, walaupun Jun memotong ucapannya, ia menghargai attitude yang baik dari Jun.
****
"Eve, di mana dirimu sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Palangkaraya : The Curse of Kahayan [Segera Terbit]
Horor"Jangan heran jika kalian selalu mendengarku berbicara tentang kota gaib dan membicarakan penghuni disana. Karena mereka sedang bersama-sama dengan kita." Teriakan minta tolong mungkin tidak pernah mereka dengar-suara-suara itu berasal dari bawah je...