▫️Bab 15 ▫️

13 5 0
                                    

Halaman rumah Pak Zales terlihat berantakan sekali, membuat Jun bingung harus memarkirkan mobilnya di mana. Vanisha terlebih dahulu keluar dan mencoba memindahkan barang-barang rongsokan menjauh dari sekitar mobil mereka. Banyak sekali paku dan benda tajam yang akan merusak ban mobil mereka.

Eve yang hendak membuka mobil harus dikejutkan dengan warga yang melemparkan sampah ke halaman rumah Pak Zales. Ketiganya menjadi kebingungan dengan kejadian yang mereka lihat barusan. Suara besi saling bergesekan karena dilempar. Tatapan warga menjadi aneh. Terlihat kosong, namun ada rasa benci di sana.

Jun menjadi waspada karena mobilnya bisa saja dilemparkan barang-barang itu. "Permisi, bapak. Kenapa kalian melempar ... s-seperti ini! Astaga!" Belum mendapat jawaban, lelaki itu benar-benar nyaris memancing emosi salah satu pria tua yang sedang membawa sebuah gir motor.

Casa menarik lengan Eve untuk kembali ke dalam mobil. "Kak, mereka orang jahat." Ucapan Casa juga didengarkan oleh Jun dan Vanisha. Namun, di saat itulah Vanisha mulai mempercayai anak itu. Mengingat keluarga Zales juga merupakan orang yang baik.

"Jun, aku tahu ini semua salah paham. Mungkin minta maaf adalah cara yang tepat. Casa, apakah kita bisa bekerja sama?" Casa menganggukkan kepalanya, ia kembali senang Vanisha mau berbicara dengannya lagi. Jun melirik ke arah warga-warga yang mewanti-wanti untuk kembali membuang rongsokan. Casa semakin mempererat genggamannya, Eve yang menyadari itu langsung mendongakkan kepalanya.

"Para warga menggunakan kalung yang ...."

"Kamu benar, Ve. Tapi lebih baik kita berhati-hati," bisik Jun yang membuat Eve fokus menatap langkahnya. Ia nyaris mengenai benda tajam yang akan melukai kakinya. Melihat semua itu, Eve memilih menggendong Casa.

Setelah mereka memiliki tempat yang leluasa untuk berjalan. Pintu rumah itu tidak terkunci sama sekali. "Permisi, ibu? Bapak?" panggil Jun sembari membuka pintu lebih lebar. Suara dentuman terdengar jelas di belakang mereka. Suara mesin cuci tua dilemparkan sampai hancur.

Ruang tamu masih terlihat aman, tidak ada yang berantakan sama sekali. "Bapak? Ada apa?" tanya Vanisha yang khawatir dengan kedua orang tua di sana. Ibu Zales masih menangis histeris. Bapak Zales mengelus keningnya sedari tadi.

Saat Bu Zales mendongakkan kepalanya, raut wajah itu menjadi bahagia dan mencoba menggendong Casa. "Bibi?" tanya Casa yang perlahan berpindah ke pangkuan Bu Zales. Jun bertanya ke mereka di sana. Namun, Bu Zales bertanya balik kepada tiga mahasiswa di depannya.

"Sebenarnya ... kami bingung menjelaskannya mulai dari mana. Anak itu kami temukan di sebuah pasar dekat jembatan Kahayan, dan–"

"Jembatan Kahayan?"

Jun dan Vanisha mengangguk, keduanya cukup terkejut dengan Pak Zales yang memotong penjelasan Vanisha. "Iya, pak. di bawah jembatan Kahayan."

"Di sana tidak ada pasar sama sekali, dan kenapa kalian bisa menemukannya?" Pak Zales menemukan kejanggalan dengan penjelasan singkat Vanisha. Ketiga mahasiswa tadi benar-benar terkejut.

Pasalnya mereka mengira di sana ada sebuah pasar, dan sempat mengalami jalan buntu, dan berakhir membawa anak kecil yang bernama Casa. "Mungkin ini sedikit membuat kalian bingung. Kalian melihat mereka membuang barang-barang di halaman kami?"

"Mereka tidak menerima kami," lanjut Pak Zales setelah melihat anggukan ketiganya.

****

"Kami sebenarnya pembasmi para dukun santet yang ingin mencoba mengusir kami. Korban pertama adalah keluarga anak ini ... Casa–keluarganya dibunuh karena mencoba mengusir keluarga dukun santet. Dukun santet ditandai dengan gelang atau kalung kayu dengan ukiran yang pernah kalian lihat."

"Teman kalian adalah salah satu anggota keluarga dukun santet itu. Jun, saya tahu kamu menyadari ini dari awal. Keluarga-keluarga dukun santet akan selalu membayangkan dirinya bunuh diri dan terlihat depresi. Di balik itu semua ... mereka ingin membunuh salah satu dari kalian."

Mendengar cerita Pak Zales membuat Jun tidak percaya dan membeku di tempat. Niat baiknya ingin Sam kembali harus menghilang begitu saja."S-sam ...."

"Apa yang kamu lakukan!" Jun meremas rambutnya sendiri. Ia merasa jadi orang yang bodoh setelah menyadari apa yang selama ini membuatnya terpuruk. Debat dengan Sam membuatnya ingin debat lebih lama.

"Di mana dia sekarang?"

"Kemungkinan dia sudah berada di kota gaib itu, pak," jawab Eve sambil membukakan cemilan untuk Casa, gadis itu benar-benar mencoba menahan emosi setelah mendengar semua cerita. Hanya sedikit tetas air mata yang membasahi pelupuknya.

****

"Tapi, pak. Bagaimana jika keluarga Sam adalah orang baik, atau Sam tidak tahu apa-apa?" Pak Zales sedikit emosi dengan pernyataan Eve yang terus membela Sam. Vanisha mencoba menengahi perdebatan keduanya.

"Maaf, pak. Bapak sama sekali belum tahu sifat asli Sam seperti apa, lalu kenapa bapak asal main tuduh teman kami."

"Kami? Bukankah itu temanmu saja? Lihatlah keduanya yang frustasi dan menerima kenyataan kalau keluarga Sam sangat berbahaya." Jawaban Pak Zales membuat Eve terdiam sejenak sebelum menatap Jun dan Vanisha yang tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Eve, diam!" bentak Jun saat Eve mencoba bertanya sesuatu ke dirinya. Lelaki itu sudah muak. Yang dikatakan Pak Zales ada benarnya, Jun tidak membantahnya lagi.

"Apa-apaan kamu, Jun! Dia temanmu!" Eve tidak kalah nyaring tidak terima dirinya dibentak karena membela Sam, notabenenya sahabat mereka bertiga. Bu Zales juga pusing dengan hubungan mahasiswa di depannya.

"Jika aku tanya ... siapa yang dengar Sam bilang dirinya mau bunuh diri? Aku kan! Siapa yang menemui Sam di dapur sendirian? Tetap aku! Selama ini aku menaruh curiga dengan Sam. Aku menahannya, Ve!" Jun tidak tahan untuk tidak menangis, dalam dirinya ia masih sangat baik mengkhawatirkan Sam, tetapi melihat–mendengar ini semua, Jun merasa hal yang sia-sia sekarang.

"Dan ... kamu pikir aku bodoh meninggalkan Sam di sana, tanpa khawatir. Aku justru lebih khawatir dari kalian!" Jun meremas jaketnya, ia melampiaskan semuanya. Tatapannya tidak bisa berbohong, ia benar-benar tidak diduga.

"Jun, aku tidak menyalakan dirimu atau siapa pun."

"Iya, tapi kamu terus membela Sam yang mungkin akan membuatmu menyesal di kemudian hari, Ve." Jun melepaskan topinya, ia muak dengan perdebatannya dengan Eve yang membuatnya dehidrasi. Tenggorokannya begitu kering.

"Eve, sudahlah," suruh Vanisha saat ingin menemui Jun yang hendak mengambil air mineral. Bu Zales ikut mengangguk. Casa tertidur di pangkuan Vanisha membuat gadis itu tidak tega untuk berteriak.

Eve terdiam dan merasa bersalah karena terlalu memikirkan dirinya sendiri, dan Sam.

***

Suara gaduh mulai mengusik ketenangan rumah itu. Para warga tidak lagi melemparkan barang, namun mereka membawa garpu rumput, obor dengan api yang sudah membara. Beberapa wanita paruh baya membawa pisau dapur dan pisau daging.

Eve yang melihat keadaan itu terlebih dahulu segera menyuruh yang lain segera pergi meninggalkan rumah lewat pintu belakang. "Pak! Bu! Para warga mulai membakar halaman!"

Pak Zales segera mengambil dokumen yang sudah ia selipkan untuk berjaga-jaga, dan dugaannya benar. Para warga keluarga dukun santet menyerang rumahnya. Untung saja mobil Jun berada cukup jauh dari rumah.

Bu Zales mencoba menenangkan Casa yang masih tertidur pulas di gendongan Vanisha. Di sisi lain, Jun terpana melihat Vanisha yang begitu cantik seperti ibu rumah tangga yang harmonis.

"Buhan pian handak kamana! Hadangi kami dahulu ... atau rumah pian kami bakar!" teriak salah satu ketua di sana. Mulai menghancurkan jendela dan pintu rumah. Jeritan mereka memakan beling dan kayu membuat Jun merinding seketika.

(Kalian mau kemana! Hadapi kami dulu ... atau rumah Anda, kami bakar!)

"Pergilah, cepat!" Pak Zales turut membopong Jun yang sempat terkena pecahan kayu. Jun berterima kasih sepanjang perjalanan keluar dari rumah.

"Berhenti!" Suara itu membuat para warga menghentikan aktivitasnya."

Palangkaraya : The Curse of Kahayan [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang