I just need some coffee in the morning
No sugar or tea
'Cause I can feel my eyelids falling
They're trying to sleep-Chevy & Nalba-
-----###*****###-----
Masih terhitung pagi, saat Nara kembali diam memandangi kanvas kosong di hadapannya. Gadis itu membiarkan angin terus menyapu lembut wajah, membawa ujung rambutnya menari kesana kemari.
Tiga jam yang lalu, saat seluruh siswa sedang sibuk berlarian menuju ruangan kursus, Nara justru memutuskan untuk berlari menjauh dari hiruk pikuk itu . Meski ia tahu hukuman apa yang akan di terimanya nanti. Terlebih lagi perihal membolos, salah satu tindakan paling fatal yang sudah sering ia lakukan belakangan ini.
Jika malam tanpa cahaya bulan dan bintang adalah gelap, maka Nara tanpa kanvas dan kuas adalah lenyap. Sebab Easel kayu yang penuh bercak ragam warna itu ibarat tulang yang menyangga dirinya. Kuas yang selalu memoleskan jutaan rona adalah paru-parunya.
Kanvas putih yang bertengger di atas easel semata-mata bukan hanya untuk menciptakan ribuan karya, tapi juga sebagai satu satunya tenpat untuk ia pulang. Dan seluruh warna yang selalu terpoles di sana adalah nadinya. Melebur ke dalam diri menjadi bagian dari hidup Nara. Menjadi satu-satunya hal yang mampu membuatnya untuk terus bernapas. satu-satunya hal yang mampu membuatnya untuk terus, hidup.
“Masa iya lukisan itu lagi?”
Napasnya terembus berat, setelah berperang hebat dengan isi kepala sendiri untuk yang ke sekian kali. Sebelum akhirnya ia larut pada simfoni di hadapannya. Menyaksikan bagaimana daun ketepeng yang sudah kering di seberang sana lantas gugur tepat pada bentala.
Netranya menangkap pantulan jejeran cemara norfolk pada danau kecil di hadapannya yang sesekali meriak secara tiba-tiba. Membuyarkan bayangan mentari di atas air yang semula tenang itu. Sekali Nara mendongak hanya untuk menyesuaikan korneanya pada cahaya baskara yang mampu menembus celah celah ranting ketapang kencana. Melihat bagaimana arakan awan dari arah timur merajut keserasian dengan wajah biru bumantara.
Gadis itu akhirnya mendengus pelan, saat kembali menyadari bahwa ia masih tak mampu untuk melukis karya baru.
“Atau gue ke kelas aja kali ya?”
“Tapi nanti kalau ketahuan gimana dong?”.
Senandika dan akalnya saling mengusungkan pedang lagi. Nara kembali uring-uringan sendiri.
Kalau di hitung-hitung, sudah dua bulan lebih ia tidak termotivasi untuk menciptakan lukisan baru. Padahal telinganya selalu mendengungkan kalimat Pablo Picasso, “Ide seni untuk seni, adalah tipuan” . Tapi tetap saja, Nara merasa bahwa ia butuh sesuatu untuk bisa menarik jiwa seninya kembali menggelegak.
Gadis itu berakhir menyandarkan punggungnya pada bangku taman yang ia duduki. Ada banyak gejolak resah serta pikiran yang ramai yang Nara tidak tahu arahnya kemana. Namun perlahan ia dapatkan kenyamanan saat netranya kembali mengamati bagaimana gumpalan awan awan putih itu berjalan beriringan di kaki langit. Di tambah lagi rayuan angin yang membuatnya kian terbuai untuk memejamkan mata sejenak. Tanpa ia sadari bahwa seorang anak lelaki berjalan mendekat ke arahnya.
“RAAA!!”. Gadis itu praktis meloncat kaget. Jantungnya berdebar hebat, lalu menoleh ke belakang hanya untuk mendapati wajah Eza yang cengengesan tanpa rasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
San chróma
Teen Fiction"Mungkin gue gabisa nuntasin masalah lo, tapi gue harap gue bisa nguatin lo Ra" "Gue harap gue bisa jadi kekuatan lo buat terus hidup..." Eza menangis sesegukan di samping Nara, sedang gadis itu tak tau harus berbuat apa. Prinsip aneh yang terus men...