PALETTE 7 : PANAH ASMARA

190 108 50
                                    

Satu, dua dan mungkin jam tujuh
Menghabiskan waktu bersamamu, membuat dunia berhenti

You make time just stop
You make, time stop

-NCT 127-

-----###*****###-----

Pada suatu petang yang temaram. Saat pertengahan semester genap di tahun ke-empat akademi, Eza menelpon Sir Heri dalam keadaan menangis.

"Halo, Selamat sore". Bariton yang tenang mampu terdengar dari seberang sana.

"Sir, tolong saya"

"Tolong saya."

Nara yang terbiasa mandiri dan tak pernah meminta bantuan siapapun, benar-benar membuat gadis itu berada dalam situasi sulit. Sifatnya yang perfeksionis dan tak mudah percaya pada orang lain menjadikan keadaan semakin kalut. Semua benda yang di lihatnya kini seperti melayang di udara, ia sudah tak mampu lagi untuk berpikir.

Wajah Nara bersimbah keringat dengan bibir yang tampak pucat. Tanpa ia sadari, setiap lembaran kertas pada buku nya kini sudah penuh dengan tetesan darahnya. Pensil yang digunakannya sedari tadi, mulai terasa berat untuk di angkat. Nara ingat terakhir kali bahwa penglihatannya hanya -0,75 saja. Tapi sekarang, pandangannya seperti sudah mencapai -3,00.

GUBRAK!

Suara itu mendistraksi Eza yang ber-atensi penuh pada aransemen musiknya. Dia yakin, bahwa apa yang ia dengar berasal dari bilik yang dimasuki Nara tadi. Eza berjalan keluar untuk memeriksanya, dan saat sampai di depan bilik itu-- di dapati nya Nara sudah tak lagi duduk di kursi.

Gadis itu hampir mati di dalam bilik perpustakaan akademi. Wajahnya pucat pasi seperti orang yang sedang meregang nyawa. Tubuhnya tergeletak lemas di lantai, dengan hidung yang terus mengucurkan darah. Buku- buku nya tampak berantakan di atas meja, dengan bercak merah yang menodai setiap lembaran kertas buku itu.

Tanpa pikir panjang, Eza langsung menggendong Nara keluar dari ruangan. Lingkungan akademi yang sudah sepi, membuat Eza semakin panik. Ia menelpon Sir Heri untuk melaporkan kejadian itu, karena tak tau lagi harus meminta tolong kepada siapa. Hingga akhirnya hal itu mengharuskan Nara menjalani rawat inap selama satu minggu.

Eza paham bahwa Nara akan mengalami hal yang sama, setiap kali gadis itu berperang hebat dengan pikirannya. Sampai kejadian tiga hari yang lalu, barulah Eza sadar bahwa sudah lebih dari satu tahun, Nara tak pernah lagi bercerita mengenai apapun pada dirinya.

SSRRAA!

"Nara belum makan kan?, sarapan bareng kita aja yaa." Ucap wanita dewasa yang sedang mencuci tangan pada westafel berkeramik marmer hitam itu.

"Aaa, ga usah Bu. Nara udah sarapan kok tadi di rumah."

"Bohong deng Buk, kalau udah sarapan masa beli roti." Cebik Eza dengan ketus.

Sambil terus mengunyah keripik yang ada di meja, anak itu sedari tadi hanya memasang wajah seriusnya untuk Nara. Sementara gadis itu membalasnya dengan alis yang terus menungkik tajam.

Tepat sekali. Eza menyeret gadis itu ke rumahnya, sebab melihat Nara hanya ingin menyantap roti sebagai sarapan pagi. Ditambah lagi dengan Es krim unicorn itu. Nanti kalau sakit gimana?!. Plis deh, jangan buat orang khawatir!.

"Kalau gitu sarapan lagi aja,"

Sambil meletakkan sebuah piring di depan Nara , seorang ibu yang sudah menginjak kepala empat itu terus membujuk Nara untuk ikut sarapan pagi bersama keluarga kecilnya.

San chróma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang