PALETTE 10 : EZA, SKETSA & AMOEBA

132 82 58
                                    

Know we've been friends
And love only knows broken ends

Yeah, that's what you said
But girl, let me change your mind

-Lauv-

---##*****##---

"Lo inget ngga waktu gue bilang gue kena slump?" Nara membolak-balik setiap lembar buku bahasa prancisnya, karena ia yakin sketsa wajah yang semalam ia lukis telah di selipkannya di dalam buku itu.

"Inget." Jawab Eza.

"Kapan coba?"

"Senin, minggu lalu." Nara tersenyum ayu.

"Nah semalam gue dapet ilham. Ada orang yang mau gue jadiin muse"

"Siapa?, atau jangan jangan gue?" Eza tergelak

"Yeuu, ge-er."

"Siapa dong?"

"Orang."

"Iya orang mah ada namanya."

"Ga tau namanya Za."

"Kok bisa?"

"Soalnya gue ga kenal, lagian juga cuma ketemu gitu sekilas."

"Di jalan?"

"Bukan, di rumah sa-"

Kalimatnya terhenti. Nyaris saja hal yang dia sembunyikan selama ini dari Eza akan ia ucapkan dengan mulutnya sendiri. Alis remaja lelaki itu refleks bertaut, "Sa apa?", tanyanya.

"S-Sa...S- Sani!, rumah Sani!"

"Sani?"

"Iya Temen SD Nara dulu, Nara semalam ke rumah dia sebentar." Manik legamnya beralih ke mana saja asal tak bersirobok dengan netra milik Eza.

Bukan Eza yang bodoh, tapi ia menghargai. Ada banyak hal di muka bumi ini yang tidak harus di ketahui. Mengingat banyaknya waktu yang sudah ia habiskan bersama Nara seumur hidup, bagaimana Nara menghindari tatapannya setiap kali gadis itu berbohong, bukanlah hal yang rumit untuk Eza sadari.

Tapi ia berlagak seolah tak tahu jika Nara baru saja mengatakan hal yang bukan sebenarnya. Bahkan aktingnya itu terlihat lebih pro dari actor senior se-kelas Reza Rahadian. Ah, andai saja dia menjadi actor, puluhan lemari tak akan cukup menampung piala dan medali yang ia menangkan dari ratusan nominasi. Eza memang begitu. Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Klasik!.

"Lihat." Nara mengangsurkan sketsa wajah yang sudah di lukisnya itu ke hadapan Eza. Lalu membiarkan kertas sketsanya terangkat menembus udara setelah dalam genggaman bocah lelaki itu.

"Buseeeettt!!" Seru Eza lantang, yang praktis mendapatkan tatapan sumringah dari Nara. 

Perihal sketsa wajah yang terlukis rapi itu bukanlah hal yang asing untuk Eza, karena bakat Nara yang sudah tidak di ragukan lagi. Jadi jika kaleng gombreng itu merespon nya demikian, sudah pasti karena wajah itu sendiri yang memang layak di sebut sebagai hasil pahatan seniman ternama. Pikir Nara.

"Lebih ganteng gue Ra." Ekspektasi memang selalu di tentang realita. Nara terhenyak dan sialnya Eza malah tergelak bukan main.

"Sialan!" Yang semakin mengeraskan gelak tawa Eza.

"Mata lo buta apa gimana?"

"Mata lo yang buta, emangnya muka ganteng gue ini masih kurang meng-inspirasi buat lo?" Cibirnya pada gadis itu.

"Kalau takaran segini mah, berani di adu gue- Ra. Sekelas Mark Lee yang katanya pacar lo itu juga bakalan kalah, gue jamin!" 

Telunjuknya menepuk-nepuk tegas kertas sketsa Nara. Detik berikutnya ia merapikan kerah baju seragamnya dengan lagak congkak. Bergaya sok paling keren sebagai pria paling tampan di antara milyaran manusia di muka bumi ini. Tak tau ia bahwa sedari tadi, Nara terus menatapnya ngeri.

San chróma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang