Menatap pada layar ponselnya, Gio tersenyum getir membaca pesan dari Papa.
"Hari ini makan malam sama mama dulu ya, Papa masih ada meeting."
Padahal sebelum pesan dari Papa di terimanya, ia sudah lebih dulu membaca memo yang tertempel di pintu kulkas.
"Mama lembur hari ini, jangan lupa makan my sweet heart."
Pandangannya lalu beralih pada meja makan di depannya yang penuh hidangan itu. Makanan mewah dari restoran bintang lima yang sudah di pesan Mama untuk dikirim ke rumah.
"Atas nama Ibu Triana Mas." Kata pelayan yang menghantar pesanan itu lima belas menit lalu.
Lantas ia mulai menyendokkan nasi ke mulut. Netranya menatap nanar, memandangi satu persatu hidangan mewah itu. Ada sambal ikan nila matah kesukaannya. Sayur bayam, juga tumis cumi. Serta makanan yang lain, termasuk dessert dan antek-anteknya. Namun tetap saja, rasanya Gio tidak menemukan hal istimewa di sana.
Setiap suapan yang berhasil Gio telan terasa pahit bukan main. Tidak tentang cita rasa makanan mewah itu, melainkan kenyataan bahwa ia harus menghabiskan semuanya sendirian. Tanpa Mama. Tanpa Papa. Seperti biasanya.
"Kalau gitu ngapain pulang?" monolog Gio sambil terus mengunyah.
Lubang besar dalam hati kini kembali di gerayangi sunyi. Di sana, ada ruang yang tak pernah ramai, sama seperti rumah yang ia tinggali saat ini. Bahkan suara jarum jatuh saja mampu terdengar, jika tidak ada Bongbong yang menemani Gio untuk mengukir cerita di hari hari yang penuh kebisuan itu.--___
"Jangan sampe larut Gi, inget?" Ucap Bang Arfan setelah memastikan ban sepeda Gio tidak kempes lagi.
Gio hanya mengangguk mengiakan ucapan Bang Arfan. Kemudian mengayuh sepeda nya menjauh dari toko itu.
"MAKASIH GII!! SEMOGA BANYAK REJEKI!"
Teriak Bang Arfan hingga ibu-ibu dari ruko sebelah sampai keluar toko. Namun suara Bang Arfan tidak mampu mencapai Gio yang sudah melaju kencang bersama sepedanya di bawah hamparan langit malam.
"Tu bocah ga pernah pelan kalau bawa sepeda." Bang Arfan geleng-geleng kepala.
Pemuda itu kemudian kembali masuk ke dalam tokonya sambil bersiul kegirangan. Guratan senyum lebar di wajahnya kian merekah. Matanya berbinar saat melihat makanan yang memenuhi meja.
"Rejeki ga boleh di tolak, hehe." Katanya sambil menyendok mi goreng yang di lengkapi udang itu. Kemudian melirik pada kurungan kecil di dekat barisan sepeda lipat.
"Ga boleh minta!" Ejek Bang Arfan pada Bongbong dengan mulut penuh.
Namun kucing itu hanya menyahut singkat tak acuh. Sahutan yang dapat di terjemahkan menjadi, "Bodo amat. Gue udah makan whiskas!"--___
Dalam ruang waktu yang sama, perihal ramai gaung terdengar dari ruang tengah. Bedanya, riuh yang ada hanya boleh di hadiri 'orang penting' penguasa gedung putih itu.
"Jangan lupa nge pel!" ucap wanita dewasa yang berdiri di sampingnya. Lalu pergi begitu saja setelah meninggalkan piring kotor yang masih tersisa banyak makanan.
Nara hanya diam saja. Tangannya sibuk mencuci tumpukan piring pada wastafel.
"Oh iya, baju kotor di kamar udah numpuk. Jadi tolong sekalian cuci." Tambah yang satu lagi.
Sejurus kemudian, Nara sedikit membanting piring yang ia pegang hingga membuat gadis itu terlonjak kaget. "Lo ga takut kena karma?" Jawab Nara.
Ia lantas menghentikan kesibukannya, dan berbalik menghadap gadis berambut pirang sebayanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
San chróma
Teen Fiction"Mungkin gue gabisa nuntasin masalah lo, tapi gue harap gue bisa nguatin lo Ra" "Gue harap gue bisa jadi kekuatan lo buat terus hidup..." Eza menangis sesegukan di samping Nara, sedang gadis itu tak tau harus berbuat apa. Prinsip aneh yang terus men...