PALETTE 13 : IT WAS

75 39 46
                                    

"Mungkin gue ga bisa nuntasin masalah lo, tapi gue harap gue bisa nguatin lo Ra."

"Gue harap gue bisa jadi kekuatan lo buat terus hidup..."

Eza ber-ujar dengan suara berbisik, tak sadar bahwa pipinya kini sudah basah karena air mata. Kalimat tulus itu benar-benar terucap oleh hatinya, bukan mulutnya.

Seberapa banyak luka yang gadis itu miliki, Eza ingin mendengarnya. Cerita kelam ataupun indah yang Nara lalui selama setahun belakangan ini, Eza ingin mendengarnya. Apa yang membuat Nara tak lagi pernah bercerita masalahnya pada Eza, Eza juga ingin mendengar alasannya.

Bukan karena ia ingin ikut campur dengan kehidupan Nara, tapi Karena ia khawatir pada Nara. Belum lagi beberapa hari lalu saat ia memergoki gadis itu hendak menjadikan sepotong roti untuk sarapan pagi. Padahal Eza tahu betul, bahwa Nara bukan tipe orang yang sok ke barat-baratan.

Gadis itu adalah Warga Negara Indonesia tulen, yang mewajibkan nasi pada setiap hidangan.

Di tambah formulir pengajuan asrama yang masih belum Nara jelaskan padanya sampai sekarang. Bukankah ada sesuatu yang di sembunyikan Nara dari dirinya?.

Malam yang semakin larut terus menghembuskan angin yang perlahan mulai menusuk tulang. Eza menangis sesegukan di samping Nara, sementara gadis itu tak tau harus berbuat apa.

Nara kesal dengan dirinya sendiri. Melihat bagaimana semesta semakin serakah untuk tetap melaju berpacu pada waktu, sementara ia sendiri masih tetap di tempat di telan bayang-bayang suram masa lalu. Ia marah dengan sifatnya yang tak mudah mempercayai manusia lain.

"Manusia adalah monster dengan banyak topeng." Kalimat yang selalu berseliweran dalam kepalanya.

Prinsip yang entah dari mana asalnya itu, perlahan menjadi racun untuk jiwanya. Ia tak sadar bahwa sesekali, ia layak untuk menyambut uluran tangan orang lain. Tapi tetap saja sampai hari ini, Nara tidak bisa mempercayai manusia sepenuhnya. Bahkan Bu Rita, yang merupakan terapis mentalnya.

Maka kemudian yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk Eza.

"Jangan bebani diri lo dengan hal yang kaya gitu." Ucapnya dengan suara kecil.

"Lo udah jadi kekuatan gue Za. Lo udah nguatin gue buat terus hidup."

Kalimat yang membuat Eza berhasil kian terisak.

Tak ada uraian air mata tanpa makna. Jika itu tentang Nara, Eza hanya ingin gadis itu tidak terluka. Maka begitu juga dengan Nara, rumit dalam kepala dan hatinya.

Bukan hanya tak mampu percaya, ia juga tak mau menjadi beban untuk Eza. Jadi alih-alih menceritakan, lebih baik ia telan semua sendirian.

****

Di minggu sore yang cerah itu, untuk pertama kalinya Nara menyadari bahwa Eza adalah bocah berisik yang sebenarnya cukup cengeng. Sebab Eza hanya berani mengganggunya saja, tapi ciut untuk melawan bocah lain seumuran mereka.

"Sini! Itukan mainan aku!" Eza naik pitam. Mainannya baru saja di rebut paksa oleh orang lain.

"Ini jadi mainan kami, karena kamu udah main di wilayah kami!" Sahut sang pelaku.

"Itu mainan aku!"

"Mainan kami!!"

Keduanya terus berseteru dengan tangan saling tarik menarik memperebutkan mobil-mobilan berwarna hijau, yang di lengkapi antena dan remote control.

"AWAS!" Hazel menepis tangan Eza, kemudian mendorongnya hingga jatuh tersungkur.

Tangan Eza yang menghantam ribuan kerikil kecil pada jalanan taman bermain itu, menciptakan luka sayat yang cukup perih untuknya. Lantas dengan begitu saja bocah kaleng gombreng itu menangis.

San chróma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang