PALETTE 16 : RINAI TANYA

34 5 4
                                    

Hujan pertama di penghujung Agustus tahun ini menjadi penanda di mulainya pancaroba. Membasahi dedaunan dan tanaman ivy rambat pada pagar gedung akademi. Rintiknya bahkan membentuk beberapa kubangan kecil di depan pintu gerbang.

Rinainya tak deras, namun cukup mampu untuk membuat baju dan tas sekolahnya kuyup. Di bawah basah langit kelabu, Eza menyusuri pedestrian akademi yang lengang bersama payung bergambar sinchannya.

Tak henti ia menggerutu. Bukan hanya karena pagi ini hujan, tapi juga karena sesuatu yang paling tidak ia suka telah mendobrak paksa paru-parunya.

"Kenapa harus bau ini ya Lord?!"

Langkahnya berhenti, kala dirasa sudah tak sanggup untuk menghirup aroma yang menguar dari tanah itu. Sejenak ia mendongak dengan raut memelas hanya untuk mendapati kumpulan awan hitam yang berserakan di langit. Kemudian melanjutkan langkahnya setelah menarik napas dalam dalam.

Masih sama seperti dulu. Eza membenci petrichor dan hujan. Katanya petrichor itu hanya representasi dari kesedihan dan lara. Itu sebabnya ia tak suka.

Namun colombus pekat di pagi itu tidak menjadi penghalang senyum pepsodent yang mentereng di wajahnya. Karena jadwal hari ini adalah kelas gabungan untuk kelas kursus theater.

Itu artinya, ia akan puas mengganggu Nara satu harian penuh.

"Kang Eddy!, ngopi dulu ngopi!" teriaknya pada satpam yang berjaga di pos.

"Saya ga bisa minum kopi Za! Sakit perut ntar!!"

"Suruh pindah ke kepala aja Kang kalau gitu!"

"Ha?!" Pak Eddy kontan mengernyit.

Berisiknya suara hujan yang jatuh semakin membuat lelaki paruh baya berseragam hitam itu tidak mengerti ucapan Eza. Sementara yang bertutur hanya tergelak sambil berlalu begitu saja dari sana. Meninggalkan Pak Eddy yang di gulung kebingungan sendirian.

"Pagi Lianaa, apa kabarr?" sapanya ramah pada gadis berdarah tiongkok yang duduk di bangku selasar. Namun yang di sapa hanya melengos, malas menatap Eza.

"Buset!, cuek bener."

"Eh!, Adek Silvi." Wajahnya sumringah saat tak sengaja melihat Silvi berdiri di depan mading.

"Semalam jutek banget Abang tanya Dek."

"Gue lebih tua empat bulan dari lo ya Za."

Ucap Silvi sambil mengepalkan tinjunya. Eza lantas tertawa dan terus berjalan menuju ruangan theater. Tak ambil pusing dengan reaksi jengkel Silvi barusan.

"Alan!" Yang di panggil praktis berbalik badan.

"Alan-kah indahmu, merah kuning hijau di langit yang biru. Pelukis-Mu agung, siapa gerangan. Pelangi pelangi ciptaan Tuhan"

Alan mengernyit heran. "Lo punya masalah apa sama gue Za?"

"Masalah?" Bola mata Eza berputar ke atas. "Lu!" sambungnya. "Biarlah masa laluu~... Jangan kau ungkit, jangan tinggalkan aku~..." Remaja lelaki itu bergoyang heboh di hadapan Alan. Sedangkan Alan hanya diam saja kehabisan kosa kata.

"Stres lo kalau dengeri dia ngomong Lan." Ucap seorang gadis yang berjalan melewati mereka.

Mata Eza kontan melebar. "Nara!" panggilnya, dan mengekori Nara memasuki ruangan.

"Kan udah gue bilang perginya bareng gue. Kok lo ninggalin gue sih. Mana hujan lagi, tega bener lo."

Gadis itu menutup kedua telinga nya rapat-rapat. Sedangkan Eza terus mengoceh kesal karena Nara tidak menunggunya untuk pergi bersama ke akademi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 16, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

San chróma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang