Suara tembakan beruntun terdengar memenuhi kamar remaja berusia 18 tahun itu. Dr_G25, username yang di gunakan Dirga untuk warrior nya. Serangan bertubi- tubi yang di berikan lawan memaksanya untuk bersembunyi di balik gedung tua tak berpenghuni.
Namun saat ia melakukan serangan balik, peluru yang di muntahkan malah meleset dari target. Hingga Dirga meracau kesal di hadapan komputer milik Eza itu.
"DAMN!! Bisa-bisanya ga kena!!"
"Argh!" Anak laki-laki itu mengacak rambutnya frustasi.
Meski Dirga mengambil alih kondisi kamarnya saat ini, Eza sungguh tak merasa keberatan. Padahal biasanya ia akan mengusir bocah itu setiap kali ingin bermain game dengan komputernya. Riuh gaduh yang terus Eza dengar sedari tadi tak mengganggu focus netranya pada ponsel yang menunjukkan gambar seseorang.
Dua hari lalu, foto yang ia ambil tanpa sepengetahuan Nara saat kelas theater berlangsung. Potret candid itu menampilkan air muka sendu. Entah mengapa, hanya dengan satu foto itu saja membuat beribu pertanyaan muncul dalam benak Eza.
Ditambah lagi gelagat kebohongan anak perempuan yang di cintainya itu tadi siang, membuat kepalanya pusing bukan kepalang. Hingga kemudian tak butuh sampai lima menit untuk menggugahnya beranjak dari ranjang dan melangkah menuju ruang tengah.
"Ibuk mana?" tanya-nya pada Aris yang tengah memilah cat akrilik di depan tv.
"Keluar."
Aris hanya menjawab singkat dengan atensi penuh pada tumpukan peralatan lukisnya. Lantas lelaki itu kembali ke kamarnya yang masih riuh dengan suara tembakan Dirga, dan mengambil jaket denim d atas kasur.
"Mau kemana?" telisik Aris saat Eza meraih kunci motor yang ada di meja ruang tengah. Eza hanya menjawab asal, "Ngapel."
Namun Aris yang mendengarnya kontan berdiri dan berderap kesetanan ke arah Eza yang menuju garasi.
"Abang mau ke tempat mbak Nara?" tanya Aris lagi dengan antusias dan mata berbinar. Sementara Eza menjawab, "Iya."
Adik keduanya yang kian sumringah itu lantas berceletuk, "Ikut."
"Ikut." Pinta Aris lagi sambil terus mengekori Eza kemanapun Abangnya itu pergi, sebab menyadari Eza tak menggubris kalimatnya tadi.
"Bang, ikut."
"Gak." Ujar Eza yang membuat Aris kian merengek seperti anak TK, "Abaang ikuuuttt."
Namun Eza tetap tak mengindahkannya. Bukannya diam, adiknya itu malah semakin menjadi seperti bayi, hingga membuat Eza jengah. Jadi cepat-cepat ia melajukan motornya setelah mengucap tegas kalimat "Eng-gak!"
Meninggalkan Aris bersama bibir kerucut bocah itu di garasi rumah. ---___
"Udah tidur?"
Pertanyaan yang ia kirim pada seseorang, meski Eza tahu jawabannya apa. Sebab ia baru saja menemui seorang wanita lansia di rumah berwarna putih itu. Sebelum lampu kamar Nara yang masih menyala di lantai dua, dapat terlihat jelas dari tempat ia berdiri saat ini.
Di halaman rumah gadis itu, Eza terkekeh membaca balasan pesan yang Nara kirimkan. Sampai akhirnya seluruh pesan itu mendapatkan balasan yang sebenarnya.
"Apaan?!" Ucap Nara yang menyembul dari balik gorden.
"Bensin gue penuuhhh!" Eza berteriak ke arah Nara yang kini duduk di pinggiran jendela.
"Teruuss?!"
"Ibuk ga masaak!!" Nara jengah.
"Hubungannya sama gue apa?!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
San chróma
Teen Fiction"Mungkin gue gabisa nuntasin masalah lo, tapi gue harap gue bisa nguatin lo Ra" "Gue harap gue bisa jadi kekuatan lo buat terus hidup..." Eza menangis sesegukan di samping Nara, sedang gadis itu tak tau harus berbuat apa. Prinsip aneh yang terus men...