Haruskah aku mengatakannya, atau tidak?
Aku sungguh khawatir
Pikiranku menjadi semakin rumit
-SEVENTEEN-
-----###*****###-----
Jam tanganya menunjukkan pukul 13.49. Sudah lewat 19 menit dari janji yang ditetapkannya pada seseorang. Ia berlari dari arah kampus menuju pusat kota. Tinggal 10 detik lagi, sebelum lampu merah itu berubah menjadi hijau. Melihat itu, Jeje semakin mempercepat lajunya.
"Haiihhh.. tck!"
Sialan. Belum sempat ia sampai di trotoar, lampu itu malah sudah berubah warna.
Tak ada pilihan lain, selain menunggu sampai giliran nya lagi untuk menyeberang. Tentu saja hal itu akan membuat waktunya semakin lama.
"Terlambat adalah pencerminan diri orang-orang malas," ujaran yang selalu di lontarkan Ayahnya sejak ia kecil. Itu sebabnya Jeje paling membenci orang-orang yang tak tepat waktu. Tapi malah sudah 3 kali, ia sendiri yang selalu telat untuk janji pertemuannya.
"Ini semua karena Dosen gila itu!" Gerutunya dalam hati.
"Selamat siang, Apa ad-.."
WUS!
Jeje berlari tanpa menghiraukan salam dari Receptionist yang bertugas di hari itu. Kedaan lift yang penuh, memaksanya untuk mengambil jalan lain. Langkah nya yang besar, sangat membantunya untuk menaiki tangga darurat dengan cepat menuju lantai 8. Ia berbelok ke kiri di perempatan koridor, dan berhenti setelah melewati dua pintu sebelumnya. Dengan napas yang ngos-ngosan, ia mengetuk pintu kaca di hadapannya dan membukanya.
"Kau terlambat lagi Tuan Baskara."
Ucap seorang wanita paruh baya dengan lapisan jas putih yang agak kebesaran. Kacamata nya sedikit bergeser ke atas karena senyum manisnya yang menyambut kedatangan Jeje.
" Maaf, heeuuhhh-heuhhhh"
Jeje membungkuk dengan kedua tangan di lutut, sebagai upaya untuk mengatur napas nya. Dengan langkah gontai ia berjalan masuk ke ruangan itu sambil memegangi pinggangnya. Beruntungnya, tulang belakangnya masih menempel di punggung. 21 tahun, umur yang masih terbilang muda untuk pemuda jompo sepertinya.
"Silakan duduk."
BRUK!
Bahkan tanpa di perintah sekalipun, Jeje sudah berniat untuk menghempaskan tubuhnya di kursi itu. Ia bahkan tak memperdulikan wanita yang menyambutnya tadi, yang terus-terusan sibuk merapikan meja. Tangannya terkulai, dan kakinya terlihat lemas sebagai imbalan kerja kerasnya menaiki puluhan anak tangga. Sementara wanita berhidung mancung itu langsung berdiri, sebelum akhirnya menghilang di balik pintu geser berwarna putih. Lalu kembali muncul dengan segelas air di tangan.
TUK!
"Bukankah sudah saya katakan pada anda, untuk tidak membuat janji seperti ini?"
Masih tak menghiraukan wanita itu, Jeje langsung menenggak habis air minum yang ada di depannya. Sedangkan yang bertanya terus tersenyum, sambil menunggu Jeje bisa bernapas dengan baik. Hanya satu menit, sampai akhirnya pemuda ber-hoodie abu-abu itu memperbaiki posisi duduknya dan mulai bersuara.
"Bukankah saya juga sudah katakan pada anda untuk tidak menggunakan kalimat formal?" Yang di balas dengan anggukan kecil.
"Baik,"
KAMU SEDANG MEMBACA
San chróma
Teen Fiction"Mungkin gue gabisa nuntasin masalah lo, tapi gue harap gue bisa nguatin lo Ra" "Gue harap gue bisa jadi kekuatan lo buat terus hidup..." Eza menangis sesegukan di samping Nara, sedang gadis itu tak tau harus berbuat apa. Prinsip aneh yang terus men...