Part 44

235 11 0
                                    

"LU KALO JALAN PAKE MATA! LU KEMANAIN MATA LU? LU JUAL?!" Gadis berambut pendek itu memaki adik kelas yang tidak sengaja menabraknya, membuat es kopi tumpah di seragam putih abu-abu miliknya.

"Maaf, Kak. Sumpah saya nggak sengaja, beneran."

"Taik lu! Lu kira minta maaf bisa bikin seragam gua bersih lagi?" Susan berdecak kesal, mengambil tisu dalam tasnya untuk membersihkan. Hal sia-sia yang ia lakukan karena noda kopi itu tidak hilang sama sekali.

"Saya gantiin seragamnya ya, Kak. Saya beliin di koperasi."

"Nggak usah! Lain kali kalo jalan mata tuh dipake! Pergi lu, sana!"

Sumpah, ini masih terlalu pagi untuknya marah-marah. Suasana hati yang sudah diatur sedemikian rupa agar baik-baik saja malah dibuat anjlok seenak jidat. Susan mengeluarkan uang di saku seragamnya, tidak akan cukup untuk membeli seragam baru di koperasi. Tapi tidak mungkin juga ia tetap mengikuti pelajaran dalam keadaan seragam kotor, bisa diusir ia dari kelas oleh guru bahasa inggris yang terkenal killer itu.

Ia mencoba mencuci seragamnya, bukannya jadi bersih noda kopinya malah menyebar. Mungkin membolos bisa jadi jalan ninja. Sepertinya tak masalah, kalau sehari saja ia membolos. Ya, mau bagaimana lagi, malu juga kalau ngotot masuk kelas dengan keadaan begini.

Pagar belakang terlihat sepi, tidak ada anggota OSIS atau Pak Husin yang berjaga. Jalan yang mulus untuk membolos. Susan sudah bersiap memanjat sampai sebuah teriakan memaksa aksinya berhenti.

"Woi, mau ke mana lu?!"

Gadis itu menoleh ke belakang. Napasnya berembus kasar, memandang jengkel seseorang di hadapannya. "Udah deket ujian masih aja mau ngebolos? Seyakin itu lu bakal lulus, San?"

"Bukan urusan lu," jawab Susan datar. Ia kembali berusaha memanjat pagar namun Udin menarik tangannya. "Apaan sih, lu?"

"Ya, gua nggak bakal ngebiarin lu bolos."

"Atas dasar apa lu ngelarang-larang gua?" tanya Susan sinis.

"Atas dasar kemanusiaan," jawab Udin sekenanya. Ia melepas sweater abu-abunya. "Pake, buat nutupin seragam lu yang kotor."

Susan memandang sweater di tangan Udin. Ia masih cukup gengsi untuk langsung menerima begitu saja kebaikan cowok itu.  "Nggak usah sok peduli. Gua nggak mau berutang budi sama lu."

"Nyatanya lu emang usah sering utang budi sama gua. Jadi nggak usah sok gengsi. Pake buruan, atau gua panggilin Pak Husin, bilangin kalo ada siswinya yang mau bolos."

"Najis, cepu banget sih lu jadi orang?"

"Lu bego ya, Anjing. Gua ngelakuin ini buat nyelametin lu. Nggak ngerti banget disayangin, emang?"

Susan mengernyitkan dahi. "Apaan sih, nggak jelas."

"Lu mau sejelas apa emang. Mau gua ngomong di depan semua orang kalo gua sayang sama lu, gitu?"

"Nggak!" jawab Susan tegas.

"Yaudah kalo gitu. Buruan pake sweaternya, abis itu balik kelas bareng gua."

"Nggak, gua bisa balik kelas sendiri!" Susan mengambil sweater dari tangan Udin, memakainya lalu pergi begitu saja. Meskipun begitu, ia masih cukup bingung dengan perkataan Udin barusan. Perihal kata sayang yang terdengar ambigu membuat pipinya kemerahan. Ah, sudahlah lupakan saja.



***



"Lu bisa berhenti ngikutin gua nggak?" Susan menghentakan kaki, menunjuk tepat di wajah Udin. "Nggak ada kerjaan lain selain ngikutin gua? Lu pikir gua tahanan?"

Guru BK Ngeselin Itu, Suami Gue! [COMPLETED√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang