20. Rumah kayu itu juga tiada

22 3 0
                                    

Halo!
Happy Reading🤍

•••

Bruk!

Naufal dihempas oleh dua bodyguard suruhan Lidia tepat di depan Lidia.

"Keluar!" titah Lidia. Dua pria berbadan kekar itu mengangguk dan keluar.

Naufal berdiri dan mengelap darah di sudut bibirnya. Melihat Naufal seperti ini apakah Lidia peduli pada anaknya? Jika itu terjadi mungkin Naufal akan keliling kompleks untuk membagikan sembako.

"Sudah berani kamu sama Mama, ya!" ucap Lidia menatap tajam Naufal. "Jangan kamu pikir Mama nggak tau kalau kemarin malam kamu juga telponan sama anak kampung itu!"

Naufal mengepalkan tangannya. "Mama?" tanya Naufal sinis. "Sebaiknya anda cari tau dulu apa yang di namanya Mama, setahu saja, yang jelas bukan orang seperti anda!"

Lidia mencengkram kursi dan mengambil gelas di mejanya. Ia hendak melempar pada wajah Naufal karena berani membangkang. Namun, akal sehatnya seolah tiba-tiba datang. Sabar, Lidia. Naufal anak kamu. Kenapa kamu tiba-tiba menjadi iblis seperti ini?

"Kenapa? Nggak jadi? Takut masuk penjara karena melakukan kekerasan terhadap anak?" Naufal tertawa terbahak-bahak. "Aku udah putusin buat keluar dari rumah itu!" Naufal pergi dari hadapan Lidia.

"Kamu pikir kamu bisa keluar gitu aja?" tanya Lidia membuat langkah Naufal terhenti. "Kalau kamu berani keluar dari rumah itu. Kamu akan lihat keluarga kampungan kesayangan kamu akan semakin menderita. Coba saja," ancam Lidia pada anak semata wayangnya.

Naufal sampai di rumah, ia langsung masuk ke kamar dan menghempaskan tasnya di atas kasur. "Arghh!" teriaknya. "Apa kekurangan aku, Ma?! Apa belum cukup semua prestasi aku selama ini?!" tanya Naufal pada foto keluarga di meja belajarnya.

Naufal mengambil foto itu dan melemparnya ke bawah, beling berserakan tidak Naufal hiraukan. Ia berteriak, kesal, juga marah.

"Den? Ini Bibi," panggil Bibi dari luar.

"Naufal lagi pengen sendiri, Bi. Naufal mohon," lirihnya.

Bi Suti hanya bisa menghela napas. Ia merasa takut mendengar pecahan kaca dari kamar Naufal, takut jika Naufal tidak berpikir jernih dan menyakiti dirinya sendiri.

•••

Rindu bersumpah, jika ia akan mencari pekerjaan lain setelah ini. Ia tidak bias membunuh dirinya dengan bekerja di klub. Sudah seminggu ia bekerja di sini dan dia benar-benar muak.

"Rin? antarin ke ruang 306. Paling ujung." Santi menyodorkan nampan berisi berbagai merk alkohol.

"Oke, Kak." Rindu langsung saja melangkahkan kakinya ke ruangan itu. Ketika ia sampai di depan pintu, betapa terkejutnya Rindu mendengar suara desahan seorang wanita yang menjijikan. Rindu menekan tombol bel dan tidak lama pintu pun terbuka.

"Wah, ada wanita cantik, nih." Pria itu mengambil nampan dengan tangannya yang sengaja mengelus tangan Rindu.

Rindu spontan menjatuhkan nampan guna menghindari sentuhan pria yang menjijikkan baginya. "Jangan macam-macam lo!" serang Rindu. Rindu hendak pergi tetapi di tahan oleh pria tua itu.

"Mau ke mana? sini main dulu sama oom!" Pria itu hendak memeluk Rindu.

Rindu yang paham apa yang hendak pria itu lakukan pun langsung menendang selangkang pria itu sehingga Rindu berhasil kabur. "Huft, ini bukan kali pertama aku kayak gini, tips dari Mbak Santi memang manjur."

"Kok wajah kamu merah, Rin?" tanya Farez ketika melihat Rindu yang sedang mengelap wajahnya dengan tisu.

Rindu tertawa. "Biasalah," jawabnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TRISTEZA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang