"Selamat datang, Bapak dan Ibu Radit," ucap Pak Slamet sambil membukakan pintu. Dia adalah penjaga rumah tersebut dan dipercaya oleh tuan rumah untuk mengurus bangunan itu selama ini. Maka dari itu semua perabotannya tampak bersih, lantainya mengkilap, bahkan halaman rumahnya terawat.
Pasangan suami istri itu masuk sambil memperhatikan setiap detil ruangan. Teras nya cukup luas dengan pemandangan sekitar yang menyejukkan mata, jika dilihat pada siang hari. Aretha tampak antusias dengan halaman rumah itu, apalagi dengan hamparan tanaman teh di sekitarnya. Rumah penduduk berada agak jauh dari rumah tersebut. Namun masih bisa terlihat dari pintu gerbang halaman rumah. Apalagi saat malam seperti sekarang, lampu - lampu akan tampak jelas terlihat dari teras rumah itu.
"Kebun teh di sekitar itu, punya siapa, Pak?" tanya Aretha penasaran.
Pak Slamet yang awalnya hendak masuk ke dalam, menoleh dan memperhatikan pemandangan di luar. "Oh itu kebun teh milik warga sekitar, Bu. Awalnya memang punya Pak Ibrahim, pemilik rumah ini, tapi karena mereka kerap bepergian jauh, maka kebun teh milik mereka akhirnya dihibahkan untuk warga."
Aretha hanya mengangguk paham sambil tetap menatap ke kebun teh yang sedang mereka bicarakan. Lahan tersebut memang luas, tapi penerangan memang sengaja diletakkan dibeberapa sudut kebun. Sehingga Aretha dapat melihat seberapa luas kebun teh milik Pak Ibrahim. Dalam hatinya, dia berpikiran kalau pemilik rumah ini sangat dermawan dan baik sekali. Sampai - sampai menghibahkan kebun teh yang luas itu untuk warga sekitar.
"Bapak masih tetap ke sini, kan, Pak?" tanya Radit, sambil mengikuti Pak Slamet masuk ke dalam.
"Tergantung, Pak Radit dan Ibu. Kalau masih membutuhkan tenaga saya untuk bantu - bantu, tentu saya akan datang ke sini. Cuma ... Maaf, nggak bisa setiap hari karena saya juga punya sawah, dan harus mengurusnya juga, Pak."
"Iya, nggak apa - apa, Pak. Seminggu dua kali, pun boleh. Karena saya lihat halaman rumahnya luas sekali, ya. Sepertinya di belakang juga masih ada lahan yang luas, ya, Pak?"
"Oh iya, betul, Pak Radit. Halaman belakang juga luas, ada kolam renang nya. Cuma belum saya bersihkan. Pasti banyak daun kering berjatuhan di air. Air nya juga belum saya ganti, nanti saya bersihkan dulu, supaya bisa dipakai bapak dan ibu. Tapi maaf, pintu dan jendelanya rusak. Tidak bisa ditutup. Besok saya bantu memperbaiki. Kemarin saya belum sempat karena banyak pekerjaan di ladang. Maaf sekali."
"Oh gitu. Ya sudah tidak apa-apa, Pak. Nanti saya minta tolong pekerja di kantor untuk memperbaikinya," tukas Radit sambil meraih gawai dari dalam saku celananya.
Aretha mengekor suaminya, mereka masih bergandengan tangan sejak turun dari mobil tadi. Sementara tangan satunya dipakai untuk menarik koper masing - masing.
"Keluarga Pak Ibrahim ada berapa, Pak? Sepertinya rumah ini sangat besar, ya? Pasti Pak Ibrahim punya banyak anak." Tebak Aretha sambil tetap memperhatikan beberapa perabotan rumah. Mereka mulai memasuki ruang tengah yang cukup besar. Memang tidak banyak ruangan di rumah ini. Hanya ada teras, ruang tamu, ruang tengah, dapur, dan enam kamar. Dua kamar berada di bawah, dan sisanya ada di lantai dua. Pintu dua kamar tersebut menghadap ke ruang tengah.
***
Ruang tengahnya memang sangat luas, dan mampu memperlihatkan semua pintu kamar di lantai atas. Tangga yang dipakai memang berada di ruang tengah, tepatnya bersebelahan dengan tv layar datar berukuran 120 inchi yang mana ukurannya besar, dan sepadan dengan ruang tengah rumah itu. Di sisi belakang, terlihat dapur yang rapi dengan perabotan memasak yang lengkap. Di sudut bawah tangga, ada piano besar."Barang - barang Pak Ibrahim memang sengaja ditinggalkan, mereka hanya membawa pakaian saja. Jadi Bapak dan Ibu tidak perlu sungkan. Anggap saja rumah sendiri."
"Tapi apa Pak Ibrahim tidak akan kembali ke sini, Pak?"
"Tidak, Bu. Mereka memang tidak akan datang ke sini lagi menurut penuturan pihak pengacara keluarga. Rumah ini memang diwariskan kepada adik - adik Pak Ibrahim, hanya saja masih ada sengketa, dan belum menemukan titik temu. Maka dari itu, rumah ini sengaja disewakan sampai kesepakatan bersama terwujud."
"Jadi kalau pun kami tinggal di sini, nanti tidak akan ada ... Konflik atau semacamnya kan, Pak Slamet?"
"Tentu tidak, Pak Radit. Semua aman kok. Tidak perlu khawatir." Pak Slamet tampak tenang namun terlihat tidak tenang. Beberapa kali dia memperhatikan sekitar.
"Kenapa, Pak?" tanya Aretha yang mampu menangkap gelagat mencurigakan dari Pak Slamet.
"Oh tidak apa-apa, Bu. Sepertinya sudah malam. Saya akan segera pamit pulang setelah membantu membawakan barang - barang bapak dan ibu ke dalam. Saya balik ke mobil dulu, Pak, Bu," katanya lalu pamit menuju ke halaman rumah.
"Biar saya bantu, Pak." Radit pun menyusul Pak Slamet ke depan. Sementara Aretha melanjutkan tour home di tempat tersebut. Dia mulai membuka satu persatu kamar, untuk menentukan di kamar mana mereka akan tidur.
Beberapa kali baik Pak Slamet dan Radit mondar mandir keluar masuk dengan bawaan dari mobil. Dua kamar di lantai bawah sudah dia periksa. Semua tampak bersih dan rapi. Tidak jauh berbeda antara kamar satu dengan yang lainnya. Aretha berjalan menuju tangga. Dia meraih piano yang tergeletak di sudut ruangan sambil berlalu, namun tiba tiba langkah nya terhenti saat sekelebat siluet bayangan tergambar di kepalanya. Karena penasaran Aretha berhenti di depan piano tersebut, mengelus barisan tuts berwarna putih tanpa menekannya. Dia penasaran pada bayangan yang baru saja terlihat. Namun anehnya bayangan itu tidak lagi tampak, sekeras apa pun Aretha berkonsentrasi.
"Maaf, Bu. Kamar utama ada di lantas atas. Mungkin Ibu berkenan tidur di kamar tersebut?" tanya Pak Slamet sambil menunjuk sebuah kamar yang berada tepat di depan tangga lantai dua. Aretha mendongak lalu mengangguk di akhiri senyuman.
"Saya lihat dulu, Pak Slamet. Soalnya banyak sekali kamar di rumah ini, ya."
"Baik kalau begitu." Pak Slamet melanjutkan lagi membereskan barang. Suara gaduh terdengar di halaman rumah. Rupanya Radit meminta bantuan beberapa pekerja untuk memperbaiki pintu dan jendela yang rusak, dan mereka langsung datang ke rumah itu setelah dihubungi.
"Di belakang juga, Rip," jerit Radit pada salah satu pekerja nya. Mereka pun mulai melakukan perbaikan rumah malam itu juga.
Bagaimana pun juga rumah tersebut tetap akan mengalami kerusakan karena memang tidak berpenghuni. Sekali pun ada Pak Slamet yang kerap datang untuk bersih-bersih. Pintu dan jendela yang sudah lapuk itu, telah habis di makan rayap. Dan beberapa engselnya pun terlepas. Bahkan saat masuk tadi pun, Pak Slamet tidak membutuhkan kunci rumah, walau tetap ada kunci rumah yang dia berikan pada Radit untuk rumah tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins Indigo (Aretha Dianah Aryani) Season 5
Humor[DILARANG SHARE, COPAS TANPA IZIN. APALAGI MEMPLAGIAT. SIAPA SAJA YANG MELIHAT CERITA INI DENGAN PENULIS NAMA LAIN, TOLONG HUBUNGI SAYA. TERIMA KASIH] Cerita ini dipindah ke aplikasi Fizzo dengan Judul Nisa, si Gadis Indigo Radit dan Aretha pindah...