18. wanita berbaju merah

43 7 0
                                    

"Kata suami saya bahan materialnya nanti datang siang, Pak," ucap Aretha saat melihat Pak Slamet masuk ke halaman rumah. Dia juga datang bersama Ratno.

Mereka berdua hendak menggarap kamar mandi di kamar utama mulai hari ini. Pak Slamet tentu membutuhkan bantuan orang lain untuk menggarap tempat tersebut. Apalagi kamar mandi itu berada di lantai dua.

"Oh, baik, Bu. Biar kami rapikan dulu di atas. Sepertinya ada runtuhan bak mandi yang harus dibersihkan dulu," kata Pak Slamet.

"Oh, silakan kalau begitu. Masuk saja. Kebetulan saya mau ke warung Bu Darsi."

"Silakan, Bu. Hati hati di jalan," kata Pak Slamet.

Aretha memang sengaja akan pergi ke warung pagi pagi setelah Radit berangkat ke kantor. Dia ingin berbelanja keperluan dapur dan berniat memasak hari ini. Apalagi dengan kedatangan Pak Slamet dan Ratno yang sedang bekerja di rumahnya mengharuskan Aretha menyiapkan jamuan makan siang untuk mereka.

Dia sudah hafal arah menuju warung Bu Darsi. Kabut tipis masih tampak di sekitar, terutama tempat tempat yang sedikit jauh dari pandangannya. Pemandangan kebun teh dengan kabut tipis tampak seperti adegan film yang membuatnya langsung jatuh cinta dengan tempat tersebut. Udara tentu masih segar. Bahkan dia jarang melihat adanya kendaraan bermotor ataupun mobil yang lewat di sekitar tempat itu. Sehingga dia benar benar yakin kalau tinggal di daerah tersebut memberikan dampak positif bagi kesehatannya. Walau belum tentu bagi mentalnya juga.

"Pagi, Bu," sapa Aretha.

Beberapa kali dia berpapasan dengan warga desa yang hendak melakukan aktifitas. Beberapa warga desa sepertinya menjadi pemetik daun teh. Karena konon katanya, tak jauh dari tempat Aretha tinggal ada pabrik teh yang sudah berdiri sejak lama. Pantas saja banyak kebun teh yang tersebar di berbagai wilayah di tempat ini.

"Pagi, Neng. Ke mana?"

"Mau belanja, Bu."

"Oh, iya. Hati hati di jalan."

"Iya, Bu. Terima kasih."

"Anaknya cantik sekali, Neng."

Deg! Aretha langsung pucat saat salah satu ibu ibu yang ia temui kembali membahas mengenai anak kecil yang dikira adalah putrinya. Aretha hanya tersenyum sambil menoleh ke belakang. Namun dia tidak menemukan siapa pun di sana. Entah anak kecil yang merupakan sosok makhluk tak kasat mata ataupun anak kecil yang nyata. Aretha bingung, tapi dia segera melanjutkan perjalanan ke warung yang sudah tidak terlalu jauh lagi.

Sampai di warung rupanya sudah cukup ramai dengan ibu ibu lain yang sedang berbelanja. Aretha dengan cepat dapat berbaur. Ia memilih sayuran segar serta lauk pauk untuk beberapa hari ke depan. Toh ada lemari pendingin yang bisa menyimpan bahan makanan itu selama beberapa hari sampai Aretha membutuhkannya nanti.

"Ikannya hanya ini ya, Bu?" tanya Aretha saat membuka termos yang berisi ikan ikan di tumpuk es batu agar tetap segar.

"Iya, Mbak. Memangnya Mbak Aretha mau ikan apa? Paling harus pesan dulu, jadi besok saya belanjakan ke pasar," sahut Bu Darsi.

"Ikan gurame, Bu. Dua kilo saja."

"Oh, baik. Besok saya bawakan ikan gurame nya dua kilo. Ada lagi, Mbak?"

"Itu saja dulu, Bu. Ini saja sudah banyak yang saya beli," kata Aretha setelah memilih aneka sayur serta ayam dan daging segar.

"Ini sudah semua atau mau tambah lagi?"

"Sudah, Bu. Silakan dihitung totalnya," pinta Aretha.

Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya semua belanjaan Aretha sudah dihitung dan masuk ke dalam kantung kresek besar. Bahkan ada dua kantung plastik yang harus ia bawa. "Totalnya 120 ribu, Mbak," kata Bu Darsi.

"Oh iya, sebentar." Aretha lantas mengambil uang dari dalam dompet yang sejak tadi ia genggam.

Namun dari sudut ekor matanya, ada pemandangan yang sedikit mengganggu. Sekilas dia merasa ada seseorang yang memakai pakaian warna merah terang berdiri di samping kanannya. Aretha sontak menoleh, karena merasa mengenal sosok tersebut. Ia merasa tidak asing dengan orang yang ia sangka berada di sampingnya. Tapi anehnya begitu dia menoleh, tidak ada siapa pun di sana. Warna merah yang ia lihat tadi pun mendadak lenyap.

Lamunan Aretha buyar saat mendengar ibu ibu bergosip. Uang yang sudah ada di tangan, lantas segera diberikan ke Bu Darsi. "Ini ya, Bu, uangnya." Aretha memberikan dua lembar uang berwarna merah dan Bu Darsi segera mengambil kembalian.

"Nanti malam, kan?" tanya salah satu ibu ibu yang berada di dekatnya. Mereka tengah membicarakan hal penting dengan ekspresi wajah yang serius.

"Iya. Astaga! Aku hampir lupa. Untung diingatkan!" sahut yang lainnya.

"Eh, Mbak. Kamu sudah tahu, kan, larangan keluar malam di desa kita?" tanya ibu tadi ke Aretha.

Merasa kalau pertanyaan itu ditujukan kepadanya, Aretha langsung menoleh. "Oh, iya, Bu. Kemarin Pak Rt sudah menjelaskan. Kalau nggak salah malam selasa dan jumat kliwon, ya?" tanya Aretha balik. Dia juga sedikit lupa lupa ingat mengenai hari terlarang itu.

"Iya, betul! Dan nanti malam itu, malam. selasa kliwon. Jadi Mbak sama suami, jangan keluar rumah, ya. Pokoknya kalau sudah jam 5 sore. Sebar garam kasar di area pintu dan jendela. Di depannya saja. Biar jin itu nggak bisa lewat."

"Korden jendela ditutup rapat, Mbak. Di semua ruangan, ya. Pastikan! Jangan ada yang terlewat!"

"Eh, si Jum kan kerja di sana? Pasti dia sudah tahu, dan nanti dia akan membimbing Mbak Aretha ini kok. Kalian jangan khawatir!" ucap Bu Darsi.

Aretha hanya diam sambil terus menyimak pembicaraan mereka. Dia bukannya tidak percaya, melainkan sebaliknya, sangat percaya. Maka dari itu Aretha ingin mengetahui semua dengan lebih rinci agar tidak terjadi kesalahan di kemudian hari. Apalagi dia secara nyata pernah merasakan sendiri bagaimana teror ummu sibyan itu sebelumnya.

"Pokoknya, Mbak Aretha harus hati hati, ya," kata ibu lainnya. Mereka tampak begitu perhatian dengan Aretha, sehingga berkali kali anjuran serta peringatan terus diucapkan.

"Iya, Bu. Terima kasih banyak atas perhatiannya. Saya akan mengingat semua yang ibu ibu katakan tadi. Bismillah. Semoga kita semua terhindar dari gangguan jin apa pun."

"Aamiin."

Aretha pun pamit undur diri. Karena dia sudah cukup lama berada di warung Bu Darsi.

Aretha berjalan melewati jalan yang sebelumnya ia lewati. Kali ini bawaannya sedikit lebih berat. Sehingga dia melangkah dengan lebih pelan dari biasanya.

Sekalipun pagi ini banyak orang yang sudah beraktifitas, tetapi desa ini termasuk sepi. Hanya di tempat tertentu saja ada keramaian seperti di warung Bu Darsi tadi. Selebihnya hanya rumah rumah yang jarang ada orang duduk duduk di depan. Sepertinya hampir semua warga desa memiliki kesibukan masing masing. Sehingga tidak memiliki waktu untuk bersantai di teras rumah mereka.

Aretha berjalan sendirian. Sambil menikmati udara dan suasana pagi di desa ini, dia sering menoleh ke kanan dan kiri. Karena kini dia mulai masuk ke kawasan kebun teh warga. Beberapa warga desa juga tampak berada di balik hamparan dedaunan hijau tersebut sambil mengambil pucuk daun teh dengan terampil. Di punggung mereka ada bakul. Atau sejenis anyaman bambu yang dibentuk menjadi sebuah wadah. Biasanya orang orang desa memakainya untuk tempat nasi. Namun yang ada di punggung mereka merupakan anyaman bambu yang dibentuk dengan cukup besar untuk menampung daun teh yang sudah dipetik hari itu.

Sesekali mereka menatap Aretha dan menyapanya. Alhasil Aretha pun berusaha ramah pada mereka semua. Dengan menegur balik atau hanya sebuah lambaian tangan. Hingga saat dia hampir sampai di rumah, lagi lagi Aretha melihat ada sosok wanita berbaju merah, sedang berdiri di tengah kebun teh. Dia terus menatap Aretha, tanpa melakukan apa pun. Aretha pun terus memperhatikan wanita itu. Dia penasaran. Siapa sebenarnya wanita itu dan kenapa dia selalu berada di sana.

Twins Indigo (Aretha Dianah Aryani) Season 5Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang