10. Rumah Pak RT

46 8 0
                                    

"Eum, ngomong ngomong pindahan kemarin bagaimana, Mas, Mba? Lancar? Saya tidak tau kalau panjenengan pindah kemarin. Saya tau, kalau mau ada warga baru di sini. Saya pikir masih lama datangnya."

"Iya, Pak. Pekerjaan saya sudah menunggu. Jadi nggak bisa ditunda lagi. Lagipula istri saya juga mau ikut. Biasanya saya tinggal di rumah."

"Ya namanya suami istri jangan sering berjauhan. Nggak baik. Hehe."

"Iya, Pak. Bener itu."

"Tapi Mba Aretha betah di sana, kan?"

"Alhamdulillah betah, Pak. Walau sebenarnya rumah itu terlalu besar buat saya. Lagipula kami cuma tinggal berdua, jadi rasanya gimana gitu, Pak. Saya terbiasa di rumah kami yang sederhana."

Padahal Rumah mereka juga tak kalah bagus dan mewah. Hanya saja memang dibuat minimalis modern. Sementara rumah Pak Ibrahim tidak memiliki nilai seni yang spesifik. Berbeda dengan rumah Radit dan Aretha. Walau hanya satu lantai, tapi mereka juga punya balkon di kamar. Dengan pemandangan taman di depan kamar yang asri dan sejuk. Banyak bunga matahari yang jika sudah mekar akan tampak indah sekali. Rumah mereka bergaya modern. Yang sangat nyaman hingga Aretha sendiri jarang sekali keluar rumah, kecuali bosan.

Tapi gelagat Pak RT tampak aneh. Seperti ada sesuatu yang hendak disampaikan tapi dia ragu untuk mengatakannya.

"Mba dan Mas nggak mengalami atau melihat hal aneh, kan? Selama tinggal di rumah itu?" Akhirnya pertanyaan itu pun muncul.

Radit dan Aretha saling tatap dengan dahi berkerut. "Maksud bapak?" tanya Radit ingin memperjelas pertanyaan tersebut.

"Maksud saya ... Yah, rumah Pak Ibrahim itu kan, lama tidak dihuni. Jadi biasanya akan ada penghuni lain yang menetap di sana. Eh tapi maaf, saya tidak bermaksud menakut-nakuti, cuma bertanya saja."

"Oh itu. Kami paham maksud Pak RT. Hal aneh, ya? Eum, kalau saya sih belum. Cuma ... Tadi, pintu kamar lantai atas ada yang terbuka sendiri. Kami pikir itu karena angin saja."

"Selain itu?" Pak RT menatap Aretha. Karena wanita di depannya tampak aneh begitu dia membahas mengenai hal tersebut. Aretha yang sejak awal datang terlihat ramah dan riang, kini tampak menatapnya serius. Seperti ada yang sedang dia pikirkan.

"Oh saya juga, waktu tadi di warung Bu Darsi, kata ibu ibu di sana ada anak kecil yang mengikuti saya. Jadi mereka pikir itu anak saya. Padahal kami belum punya anak."

"Anak kecil? Perempuan?"

"Iya. Kok bapak tau?"

"Selain itu?"

"Selain itu ... Piano di rumah, kemarin bunyi sendiri. Oh iya, satu lagi. Yang ini malah aku belum cerita ke kamu deh, Yang." Kini Aretha beralih ke suaminya yang duduk di samping.

"Cerita apa?"

"Tadi pagi ... Ada yang tarik kakiku. Aku pikir kamu. Tapi pas kamu masuk kamar, aku baru sadar kalau yang narik kakiku bukan kamu."

"Ah, paling cuma usil. Mau nyuruh kamu bangun. Biar nggak telat salat subuh. Kan kamu sering ngalamin yang kayak gitu, kan?"

"Iya ya. Jangan jangan setan yang di rumah ngikut ke sini ya, Sayang?" tanya Aretha dengan tampang serius, menatap suaminya. Tapi setelah beberapa detik kemudian dia malah tertawa, dan hal itu pun menular pada Radit.

Pak RT justru geleng geleng kepala, karena melihat mereka berdua seakan tidak memiliki beban, padahal sudah diganggu seperti itu.

"Iya, Pak. Betul. Memang banyak yang usil. Tapi ... Bapak tau? Tentang anak kecil yang mengikuti saya?"

"Keisha. Mungkin itu Keisha. Dia anak bungsu Pak Ibrahim. Memang dia sering menampakkan diri di halaman rumah, banyak warga yang melihat."

"Tapi kalau begitu. Kenapa ibu ibu yang melihat dia, malah tidak mengenali kalau itu Keisha, Pak?"

"Karena saat Keisha Menampakkan diri, dia hanya menunjukkan punggungnya saja. Dan selama Keisha masih hidup, dia nggak pernah sekalipun keluar rumah. Jadi warga tidak ada yang pernah melihat wajahnya. Sekalipun Keisha keluar rumah, warga yang melintas dan melihatnya pun hanya melihat saat dia sedang memunggungi jalan. Belum ada yang melihat wajah Keisha secara langsung."

"Kok gitu? Kenapa, Pak?"

"Konon katanya, wajahnya rusak. Karena kena air keras. Kecelakaan. Pak Ibrahim itu suka membuat logam dari besi atau baja, dan biasanya dia memakai air keras untuk membersihkan logam logam itu."

"Ya ampun kasihan sekali."

"Keisha meninggal karena air keras?"

"Tidak, Mas. Justru dia meninggal karena jatuh dari ... Balkon kamar orang tuanya. Hanya saja perlu Mas Radit dan Mba Aretha ketahui, kalau Keisha dimakamkan di ...halaman belakang rumah itu."

Aretha dan Radit melongo. Mereka bahkan baru mengetahui tentang hal itu, padahal sudah dua malam mereka tinggal di sana.

"Yang bener, Pak?"

"Kenapa nggak dimakamkan di pemakaman umum saja, Pak?"

"Pak Ibrahim sangat terpukul atas meninggalnya Keisha. Dia memutuskan memakamkan putrinya di halaman rumah. Katanya biar tetap selalu dekat."

"Gila sih ini," gumam Aretha tampak agak terkejut dan sedikit kesal.

Radit lantas menggenggam tangan istrinya berusaha agar Aretha bisa lebih tenang.

"Lalu ada apa lagi, Pak? Mungkin ada hal lain yang kami perlu tau?"

"Eum ... Sudah. Cuma itu saja," terang Pak RT dengan wajah yang tidak nyaman. Berkali kali dia melihat ke luar rumah. Seperti takut ada orang yang mendengar pembicaraan tersebut.

Tanpa mereka sadari, ternyata memang ada seseorang yang sejak tadi memperhatikan mereka di sana. Wanita itu hanya berdiri di dekat pohon kelapa, menatap tiga orang tersebut tanpa ekspresi. Pakaiannya yang merah kontras dengan suasana tempat yang gelap. Tidak ada satu pun yang menyadari kehadiran wanita itu.

"Oh iya, satu lagi. Yang perlu Mas Radit dan Mba Aretha ketahui. Kalau di desa ini, ada satu peraturan penting yang harus ditaati semua warga tanpa terkecuali."

"Apa itu, Pak?"

"Jika datang malam selasa kliwon dan jumat kliwon, setelah azan magrib berkumandang, warga diwajibkan menutup semua pintu dan jendela. Kalau bisa korden yang menghubungkan dengan luar rumah juga harus rapat. Lalu semua aktifitas di luar, dihentikan. Tidak boleh keluar rumah saat malam itu."

"Kenapa, Pak?"

"Di desa ini ... Ada satu sosok jin yang akan mendatangi siapapun yang masih berada di luar rumah. Mungkin ini disebut mitos turun temurun, tapi semua warga desa sudah menerapkan hal ini sejak dulu. Oh iya, sebelum malam, taburkan garam kasar di sekitar pintu dan jendela rumah, di bagian luar. Agar dia tidak bisa masuk ke dalam."

"Tunggu sebentar. Jin? Maksud bapak ... Ummu sibyan?" tanya Aretha yang langsung teringat satu sosok yang tidak asing baginya.

"Loh, Mba Aretha tau dari mana?"

"Tunggu ... Ini bukan desa Alas Ketonggo, kan, Dit?" tanya Aretha tanpa menjawab pertanyaan Pak RT.

"Desa Alas Ketonggo? Loh itu desa sebelah, Mba."

Radit dan Aretha serempak menatap Pak RT dengan melebarkan kedua bola mata.

Twins Indigo (Aretha Dianah Aryani) Season 5Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang