Radit baru saja pergi dengan mobilnya. Baru hari pertama pindah saja, dia tetap menunjukkan loyalitas pada perusahaan. Walau terpaksa Aretha harus ditinggalkan di rumah.
Untungnya kehadiran Bu jum serta Pak Slamet setidaknya mampu mengisi kekosongan Aretha di rumah besar itu.
Mereka bertiga memulai membereskan rumah. Dimulai dari membantu Aretha menggeser atau memindahkan barang sesuai dengan keinginannya. Bagaimana pun juga rumah tersebut akan menjadi miliknya walau tidak selamanya. Jadi Aretha merasa berhak mendekorasi rumahnya itu sesuai dengan yang dia inginkan.
"Pak Slamet, kamar mandi atas jadi gimana? Mau dibetulin atau nggak?"
"Eum, terserah Bu Aretha saja. Saya nurut," sahut Pak Slamet sambil menatap ke atas di mana tempat tersebut berada. Mereka sedang berada di teras rumah. Aretha sedang berencana membuat taman yang cantik penuh dengan bunga.
Aretha berjalan sampai ke halaman untuk dapat melihat balkon kamar tersebut dari bawah. Pak Slamet pun mengikutinya.
"Pak, pintu kamar itu berderit, ya? Agak kenceng suaranya. Nanti Bapak bisa bikin supaya nggak bunyi lagi, kan?"
"Oh bisa, Bu. Nanti saya perbaiki. Tapi kalau kamar mandinya, saya perlu bahan material yang cukup. Karena kondisinya parah sekali."
"Oh iya sih, betul juga, ya Pak. Ya sudah kita pesan dulu bahan materialnya, nanti baru dikerjakan kalau sudah ada. Nanti saya bilang suami saja, biar dia yang sediakan."
"Baik, Bu."
Kini perhatian Aretha tertuju pada kebun teh di depan rumah. Dia teringat akan sosok wanita yang semalam dilihatnya. Aretha sebenarnya penasaran pada sosok wanita berbaju merah tersebut, tapi tentunya dia tidak tau harus bertanya pada siapa. Belum tentu juga orang lain melihat wanita itu.
Melihat Aretha seperti sedang mencari sesuatu, Pak Slamet pun penasaran. "Bu Aretha sedang mencari apa?" tanya Pak Slamet ikut tengak tengok sekitar.
"Oh, eum ... Itu, Pak. Kalau warung di sekitar sini, di sebelah mana, ya? Yang paling dekat?" tanya Aretha mengalihkan pembicaraan. Karena sebenarnya bukan itu yang hendak ia tanyakan. Melainkan tentang sosok wanita yang sudah dua kali dilihatnya sejak datang ke desa ini.
"Oh, warung. Ada, Bu. Kalau yang terdekat paling warungnya Bu Darsi. Dari sini, Bu Aretha lurus saja. Nah, sampai rumah - rumah kampung yang itu, Bu Aretha belok kiri. Nggak jauh dari sana, ada warung kecil. Nah itu. Tapi di sana termasuk nya lengkap kok, Bu. Darsi jualan sembako, gula, teh, bahkan sayur mayur," jelas Pak Slamet dengan semangat.
"Oh ya? Wah, dekat dong ya, Pak, kalau saya mau beli sayur. Padahal tadinya saya bingung, mau beli sayur di mana. Saya pikir harus ke pasar. "
"Oh ndak perlu, Bu. Di sini banyak kok yang jual sayur mayur lengkap. Cuma harus pagi belanjanya. Karena kalau sudah siang, pasti kehabisan. Kalau di tempat Darsi sudah nggak ada sayuran, Ibu bisa ke warung Bu Ati. Memang lebih jauh."
"Kalau warung Bu Ati, di mana, Pak?"
"Kalau warung Bu Ati, dari sini ibu ke arah selatan. Mengikuti jalur jalan setapak saja, nanti ada pos ronda, belok ke gang sampingnya. Ikuti saja jalan itu. Nanti ketemu kok."
"Oh gitu. Oke. Nanti saya coba jalan - jalan ke sana, sekalian belanja."
"Iya, Bu. Udara di sini bagus untuk kesehatan. Siapa tau, setelah dari sini, Bu Aretha bisa hamil." Pak Slamet tampak tersenyum senang. Penuh harap pada kalimatnya tersebut. Aretha pun tidak ambil pusing, walau biasanya pembicaraan mengenai anak akan menjadi pembahasan yang sensitif di bahas di depan wanita yang belum juga hamil setelah menikah lama. Untung nya Aretha tidak demikian.
Dia tidak mau terlalu terbebani dengan kehamilan yang belum kunjung datang. Lagipula Radit sendiri tidak pernah menuntut agar dia segera hamil, atau bahkan mempertanyakan kapan dia hamil. Tapi tetap saja, seorang wanita akan memiliki titik jenuh, di mana keadaan dia yang seharusnya sudah bisa hamil, tapi tamu bulanan akan terus datang. Setiap dia datang bulan, wajahnya akan sedih. Karena artinya dia gagal lagi untuk hamil. Belum lagu pertanyaan dari orang orang di sekitar. Walau sebagian hanya sekedar basa basi, tapi tetap saja, hal itu membuatnya sedikit banyak memikirkan hal tersebut. Hanya saja Aretha pandai menyembunyikan perasaannya. Rasa sedih, kecewa, dan putus asa dia tutupi dengan keceriaan.
Untungnya Radit paham benar watak istrinya. Maka dari itu dia tidak pernah sekali pun menuntut ini itu pada sang istri. Radit tidak pernah menyuruh Aretha memasak, membersihkan rumah, atau pun hamil.
Jika dia pulang kerja dan di meja makan belum ada makanan, maka Radit pasti akan mengajak Aretha makan di luar. Bahkan jika Aretha sering pergi keluar rumah pun, Radit tidak pernah melarang. Asalkan pamit dan minta ijin dulu. Radit tipe pria yang fleksibel. Tidak suka mengekang, dan sangat pengertian. Aretha beruntung mendapatkan pria sepertinya. Hanya satu kekurangan Radit. Gila kerja.
"Kalau begitu saya lanjutkan pekerjaan saya dulu, Bu." Pak Slamet pamit lalu menuju ke dalam rumah.
Di dalam sudah ada sang istri yang sedang membereskan beberapa perabotan yang tidak dikehendaki ada di rumah tersebut. Terutama beberapa perabot yang sudah usang. Walau rumah itu besar dan modern, namun perabotannya masih banyak yang memakai perkakas tua. Bahkan saat pintu bufet yang ada di ruang tengah dibuka, kayunya runtuh dengan serpihan yang sudah dimakan oleh rayap.
Aretha lantas berjalan jalan di sekitar rumah. Udara pagi di desa memang sangat khas. Apalagi di dataran tinggi seperti ini yang sejuk dan dingin. Salah satu hal yang Aretha suka dan membuatnya tertarik ikut Radit ke desa terpencil tersebut.
Dia terus berjalan menuju tempat yang ditunjuk oleh Pak Slamet tadi. Yah, Aretha hendak pergi ke warung untuk membeli beberapa bahan makanan, dan tujuan lainnya tentu untuk berbaur dengan warga desa yang lain. Rumah yang ia tinggali memang agak jauh dari rumah rumah tetangga. Maka dari itu, dia harus menunjukkan dirinya pada warga sekitar. Setidaknya Aretha tau, bagaimana cara hidup di desa. Kekerabatan yang masih kental dan akrab menjadi ciri khas kehidupan di pedesaan.
Lagipula wanita itu memang termasuk orang yang suka berbaur dengan lingkungan. Terutama lingkungan baru. Ia sadar sebagai manusia, tidak mungkin dia akan hidup sendiri. Dia pasti akan butuh bantuan orang lain, terutama orang yang tinggal di dekatnya. Yaitu tetangga tentunya. Hubungan Aretha dengan para tetangga di rumahnya pun sudah cukup dekat. Ia kerap membagikan makanan dan berbasa basi saat ada ibu - ibu yang sedang berada di depan rumah.
Kini dia hendak menerapkan hal itu di tempat ini. Banyak hal yang ingin dia tau. Yang mungkin dapat ia temukan jawabannya pada orang di sekitar. Warga Alas Purwo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins Indigo (Aretha Dianah Aryani) Season 5
Humor[DILARANG SHARE, COPAS TANPA IZIN. APALAGI MEMPLAGIAT. SIAPA SAJA YANG MELIHAT CERITA INI DENGAN PENULIS NAMA LAIN, TOLONG HUBUNGI SAYA. TERIMA KASIH] Cerita ini dipindah ke aplikasi Fizzo dengan Judul Nisa, si Gadis Indigo Radit dan Aretha pindah...