Baik buruknya seseorang biasa dinilai lewat penampilan, dengan siapa bergaul, bahkan sampai dengan siapa memiliki hubungan. Lantas jika Dewa dan Renata satu dari sekian pasangan yang bertemu lewat benci, satu dari sepasang hal yang bertolak belakang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
02. MAU APA?
Malam itu ia pikir akan pulang ke sisi Tuhan, nyatanya Dewa masih di dunia ini bersama dengan orang-orang yang ia sebut keluarga. Menjaga Dewa dengan limpahan cinta, meski Dewa selalu berakhir mengecewakan mereka. Terutama Della, yang selalu menjadi orang nomor satu yang mencemaskan dirinya. Penyesalan itu membuat Dewa semakin keras terhadap dirinya sendiri, ia bingung bagaimana caranya berhenti. Alhasil yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah diam, bergelut dengan batin dan pikiran sendiri.
"Wa, kamu makan, ya? Mama udah beliin nasi Padang, kamu makan sedikit, ya?"
Dewa sedang berbaring menghadap ke tembok, memunggungi Della dan Dewi yang berdiri di sisi ranjang. "Nanti aja, Ma," sahutnya tanpa berbalik menatap sang ibu.
"Kak Dewa, udah jam sepuluh terus belum minum obat. Nanti dokternya marahin Mama, aku juga nggak suka liat Kakak kayak gini." Pelan-pelan, Dewi memberanikan diri untuk bicara pada kakaknya yang super galak itu. Barangkali cowok yang tengah ditimpa banyak masalah itu mau dibujuk olehnya.
"Nggak sakit gimana? Itu kaki yang ditimpa motor emangnya nggak sakit?"
"Sedikit," jawab Dewa singkat sebelum akhirnya menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tipis. Lebih sakit patah hati, sih, kayaknya daripada patah kaki, lanjut Dewa dalam hati sambil menghela napas berat.
Kecelakaan semalam mengajarkan Dewa tentang arti keluarga sebenarnya. Membuatnya menyadari bahwa ayah dan ibu tidak pernah memalingkan wajah dari putra dan putri mereka. Meski seringkali dikecewakan, mereka tetaplah seorang ayah dan ibu bagi anak-anak mereka.
Suara decitan pintu mengejutkan Dewa, membuat matanya yang tadi terpejam kembali terbuka. Memasang telinga baik-baik, penasaran siapa yang datang menjenguknya.
"Del, Dewa udah mau makan?" Suara Dilan, ayahnya, membuat Dewa mengetatkan rahang. Entah marah pada ayahnya, atau justru pada dirinya sendiri.
Della dan Dewi menoleh serempak, berdiri menyambut kemudian salim pada laki-laki berkacamata itu. Badannya tegap, tidak terlalu tinggi namun lebih tinggi beberapa centimeter dari Della. Kemeja birunya menandakan bahwa ia sengaja izin dari kantor demi Dewa yang tidak mau makan.
"Belum, Mas. Keras kepalanya seperti kamu, aku bingung bujuknya bagaimana. Biasanya dibeliin nasi Padang juga udah mau makan, ini enggak, entah apa yang dia mau." Della mengadu, menatap kasihan punggung Dewa.
"Betul itu, Pa. Dari pagi belum makan nasi, padahal harus minum obat." Dewi menimpali sembari mendekat pada Dilan, memeluk ayahnya itu untuk mengobati kesedihan di hati.
"Kalian tunggu di luar dulu, ya? Biar Papa yang bicara sama Dewa."
Kening Della berkerut, menatap sang suami penuh curiga. "Kenapa aku sama Dewi harus di luar?" tanyanya.