30. Apotek

52 10 0
                                    

"Harusnya gue nggak di sini, terjebak sama lo di antara orang-orang yang nggak sabaran ini! Jangan dorong-dorong, dong, Mbak! Nggak bisa apa santai sedikit, itu di depan juga lagi rame!"

Renata mendengkus, memasang wajah super kesal tatkala tubuhnya terus saja tersenggol orang yang sedang antre di apotek. Saat kepala sedang penuh akan masalah-masalah yang membuatnya tak tenang, siapa saja bisa menjadi pelampiasan. Tak terkecuali perempuan berbaju merah yang tadi Renata teriaki. Malam ini terasa berkali-kali lipat menyebalkan ketika Wisnu dan Helena kompak menyeret Renata ke tempat yang penuh akan obat-obatan ini.

Kenapa takdir suka menjebak manusia di situasi seperti ini? Untuk mengajarnya menjadi betulan manusia? Yang benar saja! Renata berdecih merotasi bola matanya, menatap malas sekitar.

Awalnya Renata sudah menolak, tidak ingin pergi kemanapun karena suasana hatinya sedang buruk, namun Helena terus memaksa dengan alasan kalau Renata terlalu banyak belajar hari ini. Mengurung diri di kamar, bergelut dengan buku-buku tebal juga tinta pena yang menghiasi tiap lembar buku latihannya. Hal itu jelas mengundang rasa sedih Helena juga Wisnu, makanya sekarang ia di sini bersama dengan lelaki berkulit putih itu. Untuk memenuhi permintaan Helena.

Renata mengerti, keluarganya tengah ikut merasakan kekalutannya.

Di sebelah Renata, Wisnu terkekeh menampilkan senyuman paling manis. Tangannya kini bergerak melindungi Renata dari orang-orang yang sedang diburu waktu. "Gue nggak minta lo untuk ada di sini sama gue. Marah lo itu juga nggak bakal buat lo tiba-tiba nongol di rumah kali, Ren," katanya enteng pada Renata.

"Wisnu, jangan buat gue makin emosi. Gue lagi ngerjain tugas di kamar, bahagia sama nilai-nilai gue yang agak membaik. Tapi tiba-tiba mama lo dateng, minta gue untuk nemenin lo ke tempat ini. Lo sengaja, kan? Ngaku lo!"

"Terlalu mahal sebuah untuk kesengajaan, Renata. Mama gue cuma mau lo keluar dari tekanan itu. Lagipula apa salahnya menghirup udara perkotaan di malam hari untuk beberapa saat, jangan paksa tubuh lo buat hasil yang bahkan lo sendiri enggak menginginkan itu."

Renata mengedipkan mata, sadar kalau ia pun tidak menyukai keputusannya. "Sok tau lo!"

"Gue tau semuanya. Mata lo, ekspresi lo, sama gerak tubuh lo itu cukup buat kami tau apa yang saat ini lo rasakan, Ren. Lo lagi berusaha mencari kesibukan lain untuk menenangkan diri, kan?"

Tak mau Wisnu semakin ikut campur masalah pribadinya, Renata menoleh ke arah kursi tunggu. "Lo aja, deh, yang antre, gue tunggu di situ!"

"Lo nggak lagi mencoba kabur dari gue, kan?"

"Buat apa gue kabur dari lo?"

"Karena masa lalu kita?"

Decakan Renata terlihat menggemaskan di mata Wisnu, laki-laki itu pun tersenyum. "Mungkin sebelumnya memang kita punya masa lalu, tapi sekarang kita nggak punya masa depan yang sama. Lo udah menemukan jalan sendiri, begitupun dengan gue. Jadi untuk apa gue kabur?" jelas Renata membuat Wisnu tertawa.

"Lo pasti tau kalau semuanya bisa berubah. Perasaan adalah hal yang paling bebal untuk lo kendalikan. Siapa tau?"

"Ah, udahlah! Gue ke sana, ya! Habis ini kita langsung pulang aja, gue harus belajar untuk masa depan gue." Renata menjauh dari Wisnu, riak di wajahnya berubah sendu, merengkuh kehampaan lewat tatapan mata.

Usai mendapatkan anggukan pelan Wisnu, Renata beranjak pergi ke kursi tunggu di samping antrean. Tepat di sebelah kanan di mana masih tersisa satu bangku kosong yang posisinya paling ujung. Duduk di antara mereka yang juga sedang menunggu temannya selesai membeli obat.

Saat Renata fokus memainkan ponselnya, menggulir layar itu dengan perasaan yang penuh rindu. Menatapi foto seorang laki-laki yang tersenyum damai bersama teman-temannya. Lambang jaket yang laki-laki itu gunakan membuat perasaan Renata berkecamuk, berpikir apakah yang sudah terjadi hari ini. Penasaran bagaimana kabarnya, usai menghilang dari sekolah serta isu yang saat itu beredar di sekolah.

Niskala Dewa (Renata 2) 2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang