[7]

421 46 4
                                    

draco mengerang kesal.

mengumpat sejadi-jadinya dalam hati, tangannya masih terkepal dengan erat seakan siap meninju kaca wastafel di depannya ini. sekeras apapun usahanya untuk menutupi dark mark sialan ini, hasilnya tak akan berubah.    

tanda hitam dengan gambar ular serta tengkorak itu senantiasa bertengger pada bergelangan tangan kiri draco, lelaki itu frustasi sendiri melihatnya.
 
tanda pelahap maut.        

sebuah tanda yang betengger di tangannya tanpa sengaja, tanpa ia minta, tanpa ia mau. sebuah tanda yang merupakan hukuman untuk ayahnya.

benar, hukumannya adalah mengorbankan draco. lelaki itu bahkan muak sekali rasanya harus mendengar tangisan ibunya untuk hal yang draco sendiri tidak mampu menanganinya. 
                         
seharusnya ia hanya membasuh muka saja disini, lalu menemui pansy yang kata astoria berada di hospital wings. bukan malah meratapi hidupnya yang menyedihkan.      

"sial sial sial." makinya, ia menatap bengis wajahnya di cermin, wajahnya yang tertekan itu—oh merlin, kemana draco malfoy tengil yang sering berjalan dengan angkuh di tahun-tahun kemarin, ia tertawa hambar, "seperti bukan diriku saja, apa bedanya aku dengan peri rumah rendahan?"                        

perlakuan voldemort pada pengikutnya kejam bukan main, salah sedikit saja, kutukan cruciatus siap menanti. selama draco menjadi seorang pelahap maut, kurang lebih ia sudah kena tiga kali crucio dari voldemort setiap kali pertemuan, akibat kerjanya yang lambat.

draco tidak sudi, draco tidak pernah sudi.
                 
tugasnya tinggal dua lagi, tapi kedua tugas itu sama beratnya, sama berbahayanya. bagi draco, berhasil atau pun tidak ia dengan tugas ini, ia tak akan pernah jadi draco yang dulu. ia tidak akan pernah sama lagi.

lelaki itu menggeleng kuat berulang kali, "kau bukan pembunuh, draco... kau bukan pembunuh... a-aku bukan pembunuh." 
              
ia terus menggosok dark mark itu dengan kasar, menimbulkan ruam kemerahan pada tangan pucatnya. sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali, hingga kemudian draco merasa tangannya tersentak kuat.                    
                  
ia menoleh, seseorang tengah menggeleng hebat padanya.

"maaf, draco, maaf." katanya dengan lemah lembut, "maaf karena tidak tau beban yang kau tanggung seberat ini, maaf karena kau harus mengantikan tugas ayahmu, maaf karena kau pada akhirnya tidak punya pilihan, maaf karena aku tidak tau soal ini, maaf karena—membiarkanmu terluka sendirian.."
                
draco terdiam, lidahnya kelu. seakan semua perkataannya tertahan di tenggorokan, berganti dengan air matanya yang berdesakan ingin keluar. sialan, ia ingin menangis.

"it's okay, it's okay..." gadis itu maju, lebih mendekatkan diri. tanpa kata lagi langsung merengkuh tubuh dingin draco, "menangis saja, ayahmu tidak ada disini untuk melarangmu menangis."

detik itu juga tangisan draco pecah.
 
tangisan yang sudah ditahannya agar tak jatuh di depan gadis ini, tangisan yang ditahannya untuk menandakan bahwa ia baik-baik saja, bahwa ia masih mampu untuk melindungi gadis ini.
           
tapi draco bohong jika ia bilang ia tidak butuh dilindungi. draco butuh.

"beritahu aku kalau kau sudah tenang, okay? aku perlu kembali ke hospital wings, bisa gawat kalau madam pomfrey tau aku tak ada disana."     
       
draco mengangguk lemah, semakin mengeratkan pelukannya pada gadis itu, dengan myrtle yang berada di pojok langit-langit, memperhatikan keduanya dengan tatapan iri—omong-omong, myrtle yang memberitahu mengapa draco sering datang ke tempat ini serta alasannya menangis di wastafel yang juga pernah jadi tempat incaran gadis itu untuk menumpahkan kekesalannya—itu sebabnya gadis itu ada disini.   
 
setelah dirasa draco sudah tenang, gadis itu melepas pelukannya, "merasa lebih baik?"

fall over ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang