Part 8

20 8 1
                                        

Elzar POV

Aku memutuskan membeli perhiasan untuk Tita. Saat dia memilih aku hanya memperhatikan raut wajahnya yang tentu saja tetap datar entah dia sadar atau tidak. Alindra ini jika bersama temannya bisa menampilkan ekspresi lain selain datar meskipun tidak banyak tapi saat denganku jika bukan kesal yah datar saja.

Dia menunjuk satu cincin yang katanya indah, meskipun dia jauh lebih indah sebenarnya. Aku tidak ingin memberi cincin untuk Tita, buat apa ? itu kan tugas suaminya bukan abangnya lagipula aku tidak tau ukuran jarinya. Aku jadinya membeli kalung sebagai hadiah. Psst.. ini rahasia, aku juga membeli cincin itu siapa tau bisa tersemat dijarinya kan ? Mari kita tetap berharap.

Aku sedang bermain game di ruang santai saat Papa bergabung dan duduk di sebalah Nyonya yang sedang membaca majalah
"Jadi gimana PDKT-nya?"

Aku mendelik ke arah Papa, aku tahu itu hanya pertanyaan biasa tapi kok bikin kesel yah
"Siapa yang PDKT ?" Kenapa harus bahas depan Nyonya sih ? Rutukku

"Abang lagi PDKT katanya mah"

"Ohyaa ? kok Abang gak cerita sih?"

"Cerita apa ma?" Hem muncul lagi pengganggu

"Itu Dek, kata Papa Abang lagi PDKT"

"Ohh bahas mbak Alin toh" Aku abai saja dan tetap bermain game

"Kok cuma Mama sih yang gak tau" sungut Mama kesal membuat Papa dan Tita terkekeh

"Jadi gimana sama Alin?" Tanya Papa lagi

"Gak gimana-gimana"

"Kok gitu Bang?" Mendelik pada Tita, aku menjawab kian kesal jika mengingatnya

"Yah gimana mau maju kalo ditelpon aja gak diangkat pesan cuma dibaca udah dikasi kode masih aja gak peka"

Saat mendengar mereka tertawa aku melepas stik game itu dan naik ke sofa untuk menyandarkan kepala.

"Mama mau ketemu dong Bang, ajak ke rumah yah?"

"Gimana mau ajakin ke rumah kalau ajak dia ke ulang tahun Tita aja susahnya minta ampun, Ma."

"Kalau gitu Mama aja yang ke kantor, gimana ?"

"Nanti ya Ma ? Tunggu dia lunak dulu. Kalau sekarang takutnya dia makin lari"

"Makin lari makin dikejar dong, pantes jomblo cemen sih"
Mulut Tita benar-benar minta diremas padahal aku lebih suka meremas yang bulat-bulat kenyal.

"Kalau terlalu maksa nanti dibanting" Walaupun aku selalu memaksa sih, ingat! Memaksakan diri.

"Banting?"
aku menoleh menatap mereka yang bertanya serentak

"Gak, lupain aja. Bahas yang lain"

"ihhh Mama pengen ketemu Bang"

Astaga Nyonya, anakmu ini juga ingin bertemu. Setiap hari kalau perlu setiap saat.

**

Aku sedang berjalan menuju lift saat mendapati Alin dan juga Arumi sedang berbincang, benarkan kataku ? Hanya saat bersamaku dia hemat ekspresi bahkan hemat kata tapi jika sudah bersama ketiga orang itu dia seperti orang yang berbeda. Bolehkah aku iri dengan ketiga orang itu ?

Aku berjalan dibelakang mereka tanpa mereka sadari. Aku mengkerutkan alis untuk informasi yang baru saja kudapat, mendadak jantungku berdetak tak menyenangkan membayangkan terjadi hal buruk padanya di jalan dan lagi aku sangat tidak suka membayangkan dia disentuh dengan lelaki lain.

Saat tiba di lobi aku melangkah tergesa menyusulnya dan menahan lengannya. Mengapa menampilkan ekspresi itu lagi ? Sangat mengganggu kah aku baginya ? tak ingin memikirkan hal itu, aku harus membuatnya pulang denganku yang tentu saja dengan paksaan. Memangnya bisa kalau tidak begitu ?

Future PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang