Part 15

9 4 0
                                        

Kebanyakan orang pusing bagaimana menambah tumpukan uang dalam rekeningnya tetapi hal itu jelas saja tidak berlaku untuk anak yang terlahir dengan sendok emas. Elzar justru pusing bagaimana menghabiskan tumpukan uang yang dia miliki.

Tidak sekali dua kali aku menemaninya jika dia ingin merogoh kantong, dia sama sekali tidak pernah pusing masalah harga. Memang susah jadi sultan. Hari ini saja dia kembali bertingkah, makan malam romantis katanya.

Sangat susah untuk tidak mencibir, biasanya juga kita pesan antar dan makan di apartemen. Lagian dia itu gak ada manis-manisnya kayak air mineral dia lebih sering memaksa.
Giliran ngajakin kencan gak pernah berhasil, selalu saja ada gangguan. Jika mengingat kencan aku kembali mengingat Anna yang gatal bin ganjen itu. Bikin mendidih saja.

Saat tadi aku masuk ke dalam apartemennya hanya kekosongan yang kutemui, dia tidak ada bahkan Tita sekalipun. Entah setan mana lagi yang merasukinya agar berkeliaran kesana-kemari. Ini tidak adil, masa hanya aku yang membusuk di apartemen ? Ya sudah kuputuskan menjadi sultan sehari.

Meminta supir untuk mengantar ku ke salah satu mall yang letaknya tak begitu jauh dari kantor untuk menjajah beberpa toko sebelum bertemu Elzar di Restoran yang telah ia kirim alamatnya. Masih tersisa waktu empat jam, sepertinya cukup jika aku menonton film yang sedang tren di bioskop.

Ingin memaksakan diri untuk bertahan hingga film yng kutonton usai tapi sepertinya tidak berhasil, aku bisa tuli jika didalam sana lebih lama lagi, tidak semenyenangkan saat bersama Elzar ternyata.

Karena waktu janjian masih lama, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Aku masih melihat sekeliling saat merasakan ponselku yang terus membunyikan notif tanda pesan masuk.

Jika Elzar yang mengirimiku pesan bertubi-tubi seperti itu, akan kupastikan untuk memukul kepalanya saat bertemu. Baru saja ingin membuka pesan itu tapi ekor mataku menangkap sesuatu yang familiar.

Padahal masih muda, udah rabun aja rutukku kesal pada diri sendiri.

Sebenarnya aku bisa saja memilih cuek toh belum tentu aku mengenalnya. Tapi aku sangat penasaran karena aku merasa sangat mengenalnya jadi alih-alih membuka pesan beruntun itu aku memilih untuk lebih mendekat.
Mendekat dan tercekat.

Aku seperti kehilangan napas untuk sedetik lalu pikiran ku menjadi kosong.
Sosok itu….

Aku mengenalnya…atau mungkin tidak ?

Suami ibuku… dia disana, sedang merangkul seorang Wanita yang usianya kira-kira tujuh tahun diatas kak Anggi. Masih muda meskipun tidak terlalu cantik tetapi tatapannya teduh menggambarkan ketenangan.
Aku masih memaku diri di lantai, tidak bergerak kemanapun, masih mengamati orang itu yang seperti di mabuk asmara. Senyumnya tidak surut, binar matanya meskipun tidak jelas tapi aku tahu tersimpan rasa untuk Wanita itu.

Dia disini…lalu bagaimana dengan ibuku ? Sedang apa dia ? Menunggu suaminya pulang ? Mengingat Ibu mataku tersengat panas seketika, aku tidak ingin menangis tapi sepertinya mataku tidak bisa diajak untuk bekerja sama.

Mataku terus saja meluapkan isinya, hendak berbalik memutuskan untuk mengabaikan sekali lagi tapi justru dunia kembali mencipta konspirasi. Aku berjalan cepat mengarah pada satu titik yang kian membuat pedih.

“Radja” Panggilku, dia tersentak lalu kembali memasang ekspresi biasa.

“Ikut kakak” Kataku lagi.

Aku membawanya menjauh dari tempat itu, kenapa hal ini terjadi lagi disaat kupikir aku baik-baik saja sekarang…

Melupakan supir yang mengantarku tadi, aku menghentikan taksi dan meminta untuk diantarkan menuju hotel terdekat.

Future PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang