Part 16

15 2 0
                                        

Tadinya aku ingin pergi ke jojga untuk bertemu dengan satu-satunya kakak yang ku punya tapi rasa-rasanya bukan hanya hatiku yang lelah, jiwaku pun ikut letih. Aku memutuskan untuk kembali hotel berharap air hangat dan Kasur empuk yang tersedia bisa membantuku agar merasa lebih baik.

Aku terus mengingat Elzar sebagai kenangan terbaikku saat ini untuk mengurangi sakit yang kurasa akibat kelakuan suami Ibu yang luar biasa. Saat sudah merasa lebih tenang rasa bersalah memukulku sangat keras.

Aku yakin Elzar sangat marah, bukan lagi marah. Barangkali benci karena aku yang ingkar. Untuk pertama kalinya dia tidak mencariku, tidak lagi mengirimi ku pesan. Aku gemetar membayangkan dia yang tidak lagi peduli, sangat kuat keinginan ku yang menemuinya sekarang tapi aku menahannya sampai masalah sialan ini benar-benar berakhir, pun jika aku dipecat kuharap masih ada perusahaan yang mau menerimaku.

Meraih seluler ku di dalam tas, aku segera menghubungi kak Anggi yang dijawab pada dering kelima.

Membenamkan kepalaku di bantal aku menceritakan semua yang terjadi tanpa ada yang kututupi, meneruskan semua pesan-pesan yang dikirimkan si ular pada kak Anggi. Reaksinya tak jauh beda denganku, dia terluka dan menangis. Entah apa yang ada dipikiran Bapak hingga tega menyakiti kami seperti ini. Dia jelas sadar saat melakukannya tapi tak mengingat kami di tiap keputusannya.

Benar kata Radja, kami dibuang karena sudah tidak berharga. Aku tidak ingin berasumsi, tapi mustahil untuk tidak melakukannya. Aku memutuskan untuk kembali ke Bandung malam ini. Jika suami meninggalkan istri, harus ada anak yang menemani Ibu.

Selama perjalanan, dari stasiun gambir ke stasiun bandung yang kulakukan hanyalah memejamkan mata sambil mendengarkan lagu dengan volume keras berharap dengan begitu aku bisa merasa lebih baik. Tapi sia-sia saja, kini bukan hanya hatiku yang sakit telingga ku juga terasa sakit.

Tiba pukul 9 malam di istana Ibuku yang sudah hancur, aku menatap lama hanya untuk mengenang sisa-sisa kebahagiaan yang mungkin ada. Aku masuk memberi salam setelah dibukakan pintu oleh Radja, melangkah menuju dapur sesuai arahan Radja, air mataku seketika jatuh melihat Ibu yang duduk seorang diri dengan wajah pucat dan tatapan kosong.

Aku melangkah untuk menghampiri Ibu tapi ditahan oleh Radja
“Mending kakak mandi dan ganti baju dulu”

Ah, adikku benar. Aku terlihat tidak karuan. Berbalik arah menuju kamar aku melakukan semuanya dengan cepat tanpa ritual apapun agar bisa segera memeluk Ibu

"Bu..." Panggilku yang membuatnya mengerjap hingga tetesan kepedihan itu terjatuh di pipinya yang dingin

“Lin, kamu sudah makan, Nak ?”

“Ibu sendiri gimana ? kurusan gini” Yang Ibu balas dengan senyum lemah

“Besok kakak kamu juga disini, Ibu senang bisa kumpul lagi”

“Lepaskan Bu, jangan ditahan” Hanya itu yang kukatakan untuk membuat ibu menangis pilu, aku bergerak untuk memberinya pelukan dan usapan lembut agar Ibu tahu kalau ia tak sendiri. Sisa malam kami habiskan dalam kubangan lara yang menyesakkan.

**

Pagi hari saat aku terbangun, Ibu sudah tak ada disebelahku. Dia sudah berkutat di dapur memasak entah apa menghasilkan bau sedap yang memancing cacing di perut untuk melakukan unjuk rasa agar segera diberi makan.

Dia mungkin gagal sebagai istri, tapi jelas dia tidak gagal sebagai Ibu. Memberinya kecupan selamat pagi dan bergabung dengan adikku di meja makan. Setelah Radja berangkat sekolah, kini hanya aku dan Ibu yang saling menggenggan di ruang santai sambil menonton TV.

Kami menatap kosong pada tayangan yang sama sekali tak menarik. Tak tahu berapa lama kami dalam posisi itu saat suara dehaman menyadarkan kami.
Lelaki itu akhirnya kembali setelah menghabiskan malam bersama sang madu. Saatnya aku menyingkir, masuk ke dalam kamar. Aku hanya duduk melamum, menunggu hingga pembicaraan apapun itu usai. Kuharap, semoga saja, kali ini Ibu bisa bersikap egois untuk dirinya.

Future PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang