11. Godaan

453 58 7
                                    

Author Pov

Rencana perebutan Wall Maria mulai disusun, Levi memiliki squad baru yang beranggotakan dari angkatan 104--tepatnya teman dekat Eren sendiri.

Hanji juga memulai eksperimennya terhadap Eren, sebagai pemegang peran khusus yang akan menutup lubang gerbang Maria. Di samping itu, pengamatan untuk satu titan di desa Ragako masih berlangsung. Hipotesis awal mereka menyatakan praduga, bahwa titan tercipta dari manusia.

Semua informasi penting perlahan terkumpul, Erwin membaca laporan-laporan terkini terkait percobaan Hanji pada Eren yang masih belum membuahkan hasil.

Semenjak pulang dari rumah sakit, Komandan ini terus disibukan dengan banyak berkas. Hampir-hampir mengabaikan diri sendiri dan membiarkan janggut yang belum dipotong semakin rimbun. Belum lagi dia juga harus memeriksa latarbelakang seorang prajurit, yang digadang-gadang menjadi kunci rahasia kerajaan.

Erwin menutup buku, memijat pangkal hidungnya lelah. Dia mengintip pemandangan gelap di luar, sorot matanya menerawang jauh. Laki-laki ini tidak pernah terlihat sederhana dalam situasi apa pun, dia seakan mampu membaca apa yang akan terjadi dalam satu detik ke depan. Entah karena otaknya yang brilian atau mata itu memang memiliki keistimewaan berbeda dari orang-orang.

Ketukan pintu menarik dirinya untuk berpaling, berbalik. "Masuk."

"Permisi, Komandan."

Pintu dibuka bersusulan dengan suara yang sudah sangat dihafalnya.

Sosok mungil berambut pendek masuk membawa nampan berisi makanan, seperti biasa senyuman cerah menghiasi paras manis nan tirusnya.

"Waktunya makan Komandan."

Risyta meletakkan nampan pada meja bundar, di mana dua kursi saling berhadapan. Menatanya hati-hati.

Kenapa dia selalu muncul di sekitar Erwin? Soalnya pria itu sendiri yang menunjuk Risyta, agar lebih sering membantunya di masa depan. Terkait masalah formal, maupun yang dilakukan gadis itu sekarang--menyiapkan makanan atau sekadar mengingatkan waktunya istirahat. Ketua regu lain juga tak keberatan, sebab Risyta memang sangat membatu untuk Komandan mereka.

Erwin menarik kursi. "Kau sudah makan?"

"Ya, tadi bersama Dirck-san juga Marlene-san." Setelah menuangkan minum Risyta bersiap undur diri. "Nikmati makanan anda, tolong panggil jika sudah selesai."

"Kenapa tidak duduk dan tunggu sampai aku selesai?"

Risyta melirik kursi kosong satunya, lalu beralih pada Erwin. "Apa tidak mengganggu?"

"Tidak, duduklah."

Itu terdengar sebagai perintah bagi Risyta, walau sebenarnya Erwin meminta dengan sopan. 

Perempuan itu menopang sebelah pipinya, menunggu sambil mengedarkan pandangan pada seisi ruangan.

Untuk ukuran seorang Komandan, Erwin benar-benar kekurangan uang di matanya. Lihat saja tempat ini, kecil dan sempit. Kamar ini lebih mirip penginapan di banding rumah, malah lebih buruk dari itu. Semua barang-barang ada di satu ruangan, kasur hanya muat untuk Erwin seorang, lemari buku dan meja yang sekarang sedang digunakan terkadang menjadi meja kerja. Seluruhnya ada untuk memenuhi sudut lain.

Luar biasa, bagaimana orang secerdas ini memilih hidup susah demi kebebasan umat manusia, ketimbang menggunakan otaknya untuk kenyamanan sendiri dan mendapat rumah mewah paling aman di tembok terdalam?

"Anu, Komandan. Apa anda tidak mau menuntut bayaran lebih, untuk tugas berat yang mempertaruhkan nyawa ini?" ceplos Risyta kelewat polos dan terang-terangan.

Keluar Jalur || ERWINXREADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang