37. Persiapan

244 45 0
                                    

Ada kalanya sosok keras dengan tekad kuat akan goyah oleh satu hal lain. Manusia pada dasarnya tidak bisa terfokus pada titik tertentu saja.

Tak terkecuali Erwin Smith, Komandan Batalion ke-13 dari Survey Corps, untuk kesekian kalinya dibuat buntu oleh masalah yang sama sekali tak berhubungan dengan titan. Ini kerumitan lain, jauh lebih personal dan sukar.

Biasanya Erwin benar-benar fokus pada tujuan, seperti pertempuran yang sudah-sudah. Mengorbankan diri dan kemanusiaan. Tidak gentar maupun ragu dalam berpikir dan memutuskan. Akan tetapi, sejak kemunculan gadis misterius di Wall Maria, lalu mengenal lebih jauh prajurit tersebut. Erwin kerap kehilangan kata-kata, kesulitan memutuskan sesuatu yang berhubungan dengannya. Seperti hewan liar yang dijinakan, dia harus mempertimbangkan segala tindakan.

Di taman yang tak jauh dari hotel tempatnya menginap, Erwin terpekur dengan tatapan kosong di kursi taman. Siku kirinya yang tersisa bertumpu di paha, sedangkan telapak tangan menyangga wajah, menutupi sebagian wajah atasnya.

"Apa aku masih menjadi anak bodoh yang telah membunuh ayahnya sendiri, hingga mudah sekali dibuat lengah?"

Erwin meraup wajah, dia begitu tertekan oleh kekhawatiran sendiri. Bagaimana tidak? Empat tahun Risyta menghilang, kini perempuan itu muncul di tempat yang tak di sangka-sangka. Entah apa saja yang sudah dilalui, jelas itu bukan sesuatu yang ringan. Lalu setelah semua itu, lagi-lagi Risyta mengambil peran berbahaya. Sementara Erwin yang merupakan Komandan, justru hanya diam, tanpa bisa melakukan apa pun. Satu-satunya yang bisa dilakukannya sekarang hanya memeras otak, mencari cara untuk melakukan diplomasi dengan negar-negara lain. Sementara di sisi lain membiarkan orang yang dicintainya bertarung di garis depan.

"Menyalahkan diri sendiri?" Intonasi dingin nan berat mengintrupsi Erwin, pria itu reflek menengadah.

Levi dengan sorot suram dan ekspresi sedatar tembok, berdiri selangkah tak jauh dari Erwin duduk.

Pria pendek itu acuh tak acuh, mendudukan diri di sudut lain kursi yang Erwin duduki. Menyilangkan kaki, sedang sikunya bertumpu pada lengan kursi, kepalan---dengan urat menonjol di punggung tangan--menopang pipi.

"Lihat wajahmu, kau bahkan bisa mengasihani diri sendiri setelahnya."

"Kenapa kau kemari, Levi?" Erwin tak mengindahkan sarkasme dari sahabat sekaligus bawahannya ini.

"Hanji mengkhawatirkanmu."

Lelaki tinggi-besar itu menunduk. "Maaf."

Levi melirik sekilas sebelum berujar. "Risyta pasti baik-baik saja."

Kapten yang satu ini memang tidak bagus dalam berkata-kata, apa lagi untuk menghibur orang. Namun, Erwin bukan orang baru, dia mengenal karakteristik orang yang duduk di sebelahnya.

"Hn. Aku tahu." Lantas Erwin menoleh. "Kau juga mengkhawatirkannya 'kan, Levi?"

"Memang kebiasaannya membuat orang merasa khawatir, 'kan? Sama saja seperti Eren."

Erwin terkekeh, adalah benar dua prajurit itu selalu saja membuat orang lain kalang kabut. Entah terlalu berani atau memang begitulah mereka.

Benar, begitulah Risyta. Dia mungkin tampak sederhana dari luar, tetapi diam-diam menanggung tanggungjawab yang besar. Hanya dia dan Eren yang tahu soal masa depan, tetapi alur sudah berputar jauh dan jauh, hingga Eren yang merupakan karakter utama pun mulai kehilangan jejak dan penglihatan masa depannya. Risyta berhasil mengendalikan seluruh plot yang ada.

Lantas di sini dia, berhadapan dengan Johan Rovakiev untuk mengatur ulang rencana. Ada beberapa strategi yang harus diubah.

"Kau serius?" Johan dengan mimik tak kalah serius meminta agar Risyta memikirkan ulang rencana baru ini.

Keluar Jalur || ERWINXREADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang