51. Risyta Sudah Mati

88 12 2
                                    

"Jadi bagaimana?" Runia yang membuka topik.

Setelah rapat dengan para jurnalis, mereka pindah ke ruang khusus yang lebih privat untuk membicarakan perihal diplomasi antar pemimpin selama beberapa minggu terakhir---bisa juga diisi percakapan ringan.

Harusnya dengan tiga orang yang bisa berpikir cepat seperti Erwin, Johan dan Armin. Mereka sekiranya bisa mengantongi sejumlah suara.

"Tidak ada masalah, semuanya berjalan lancar. Meski mustahil memperoleh semua suara, tetapi kita cukup mengumpulkan pemilik pendapat paling kuat. Terutama Anneth, dia menjadi yang paling penting di sini." Erwin melirik Johan.

"Tidak perlu menatapku seperti itu, Erwin. Anneth akan berada dipihak Paradise, operasinya sudah selesai sejak berminggu-minggu lalu, begitu kondisinya membaik, dia bisa bergabung pada rapat internasional." Ekspresi Johan tampak puas.

Kepuasan ini bukan soal dia akan berhasil untuk membawa Paradise pada kemenangan, melainkan kemenangannya sendiri atas Erwin. Meski dia belum melihat secara langsung kondisi Anneth, lantaran semua kesibukan ini. Johan sudah yakin telah memiliki Risyta, jantung wanita itu akan berdetak di dada wanita yang amat mencintainya. Itu cukup. Dia sudah merasa menang.

Erwin mengalihkan pandangannya dan mengambil segelas martini. Berusaha untuk mengabaikan gejolak di dadanya, agar tidak terbuai keinginan menghabisi pria yang sudah membantunya itu.

Alkohol membawanya terbang sejenak, melambung pada moment percakapan terakhir dia dan Risyta.

Pagi itu, sebelum keberangkatan Erwin ke seberang lautan untuk kedua kalinya. Saat Erwin tengah bersiap setelah sarapan. Risyta datang ke kamarnya. Wanita itu telah rapi dalam balutan seragam militer, tampak formal dan jauh. Rambutnya diikat ekor kuda, mata marunnya seperti biasa, penuh rencana.  Dia tampak tenang seperti biasa, berdiri di belakang Erwin saat pria itu menatapnya dari cermin, di mana Komandannya sedang mematut diri.

Erwin merapikan kerah mantel seragamnya yang berwarna hijau, lambang sayap kebebasan bertengger gagah di sisi kiri dadanya juga di bisepnya. Ia berbalik badan demi menatap kekasihnya langsung, karena tahu ada yang ingin Risyta sampaikan.

Prajurit muda itu memberitahunya, prihal kesepakatan bersama Johan. Tentang jantung Risyta yang telah dijual.

Tidak banyak perdebatan lantaran Erwin yang kelewat tenang.

Pria itu berpura-pura seolah belum tahu apa pun, tetapi balasan keras dari wajahnya yang tak acuh menghancurkan Risyta. Semula Risyta mengira pria penyandang gelar kehormatan sebagai Komandan paling berani itu akan marah besar. Dia bahkan siap memberikan banyak alasan untuk berargumen dengannya. Namun, rupanya hanya ditanggapi dengan ekspresi datar nan tabah.

Risyta menatap kosong padanya, lalu tersenyum tipis. "Sepertinya kau sudah siap dengan segalanya, ya? Aku berniat mengejutkanmu, tapi justru aku yang terkejut."

Erwin menatapnya sejenak, lalu berkata tanpa nada. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku terlalu mengenalmu, Risyta. Sekalipun aku memintamu untuk membatalkan itu, kau tidak akan melakukannya."

Jawaban itu terlalu jujur dan blak-blakan, tidak ada sisi manis sama sekali. Sampai Risyta hanya bisa mengangguk membenarkan. Dia berbalik dan terdiam sejenak. Rasanya malah dia yang harus menata hati.

Beginikah perasaan Marie saat Erwin memilih pergi mengejar rasa penasarannya dan terjun ke pertempuran dari pada memilih wanita itu sebagai pendamping hidup? Atau justru Erwin yang terlalu tabah hingga tidak sempat memberitahu apa pun pada Marie? Yang jelas, Risyta hanya mengetahui satu hal, bahwa Marie sempat jatuh cinta pada Erwin, sama seperti Erwin mencintai Marie. Untuk kemudian melepaskan satu sama lain karena ketidakjelasan pria itu yang bahkan lebih memilih menyimpan surat wasiat di ekspedisi pertamanya.

Keluar Jalur || ERWINXREADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang