36. Panggung

286 42 2
                                    

Dua kata yang dipakai Risyta terdengar mematikan, telak membuat Eren menahan napas dengan mata terbuka lebar. Dia tidak menduga ini sama sekali.

Eren mengepalkan tangan hingga buku-buku jari memutih. Tatapannya berubah nyalang, dia menggertak dalam kata-kata. "Anda tidak bisa."

Keduanya saling bersitatap, keras kepala dengan keputusan masing-masing. Namun, akhirnya Risyta mengembuskan napas kasar. Dia tidak harus keras kepala menghadapi Eren, jelas karena dia paling memahami tujuan bocah ini sepenuhnya. Berbeda dengan Risyta yang tujuannya mencegah kematian beberapa orang saja--kali ini terutama Sasha dan Hanji--sisanya dia tidak benar-benar peduli, sedang Eren ingin menyelamatkan semua, baik Paradise, rekan-rekannya bahkan tak terkecuali pengkhianat sekalipun.

"Aku tahu ini akan terjadi," keluh si wanita, menyugar poni ke belakang.

Risyta mundur, menyandarkan punggung pada pembatas. Angin laut memainkan anak rambutnya. Eren tetap keras, walau wanita ini nampak tak protes, dia tahu Risyta pasti sudah memikirkan cara lain.

"Apa pun siasat anda, saya tidak akan menyerahkan mereka," tukas Eren berkelebat maju, tepat di depan wajah Risyta. "Sebaiknya anda lupakan untuk membunuh mereka."

Retinanya bergulir ke tangan Eren, ada jejak darah di sana. Sepertinya bocah ini berencana melawannya dalam bentuk titan, sebab jika bertarung tangan kosong dengan tubuh manusia, bisa dipastikan Eren kalah telak. Akan tetapi, Risyta tentu tahu ini hanya gertakan. Selain karena Eren memang tidak akan bertindak sejauh itu, dia juga tidak bisa sembarangan memanggil bentuk titannya yang akan menarik perhatian.

"Kukira kau mengepalkan tangan karena marah, ternyata untuk melukai diri sendiri?" Sindir Risyta sembari tersenyum miring, mengangkat kembali fokusnya pada wajah marah di depannya.

"Jangan khawatir Eren." Tangan Risyta terulur, mendorong pelan dada Eren agar menjauh sedikit. "Aku memang berencana membunuh mereka, tapi tidak dalam waktu dekat. Terutama kakakmu, aku masih memerlukan darah kerajaan miliknya."

Risyta merapikan pakaiannya, masih dengan santai berhadapan dengan pria berdarah panas yang gampang marah ini. "Kita lupakan masalah ini dulu, ada yang lebih penting dari pada mengurusi nyawa pengkhianat."

Rahang keras Eren tidak mengendur sama sekali, dia belum puas dengan hasilnya. Dia yakin Risyta tidak pernah main-main mengenai ucapannya.

"Aku tahu rencana apa yang kau susun, tetap lanjutkan. Perang dengan Marley tidak akan melibatkan negara lain, bahkan saat petinggi yang hadir mati." Risyta balik badan, tapi sekali lagi berucap. "Kau bisa berpesta di sana Eren."

Tanpa menoleh Risyta meninggalkan Eren.

Wanita itu meniti jalannya. Udara semakin dingin, sesekali Risyta terbatuk. Dia memang tidak begitu menyukai suhu rendah, membuat badannya rentan terkena demam.

"Ukhuk!" Ia mengecap aroma besi di mulut, sejalan dengan sensasi perih yang menyerang tenggorokannya. Risyta meludahkan liur bercampur sedikit bercak merah.

Risyta menyapu bibir, lantas menghela napas lemah, uap hangat berembus dari mulutnya. Menengadah, benaknya melukis gambar wajah seorang pria yang selama ini amat ingin dilihat.

Empat tahun lalu, sebelum pergi. Risyta sempat meninggalkan secarik surat di nakas Erwin. Sejak saat itu--selama empat tahun kepergian--dia tersiksa oleh perasaan takut, bertanya-tanya, apa Erwin masih akan menerimanya setelah tahu semua perbuatannya selama ini? Perempuan yang selalu menampilkan senyum polos dan bertingkah konyol, tenyata seorang pembunuh.

"Erwin, maaf."

______

Erwin aku pergi, jika waktunya tiba ... tanpa harus kuberitahu sekalipun, kau pasti akan menemukanku. Di pertemuan berikutnya, aku akan mengatakan semua tentangku, siapa dan dari mana aku. Setelah itu kau bebas memutuskan.

Keluar Jalur || ERWINXREADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang