46. Peran

260 23 18
                                    

Awal-awal Erwin keluar rumah sakit-- setelah tangannya dimakan titan. Risyta tidak pernah sekalipun meninggalkan ruangannya--lebih tepatnya tidak pernah jauh dari pintu kamar Komandan Survey Corps.

Dia bahkan menemani Erwin berlatih, tentunya setelah bersikeras dengan berbagai alasan, agar Komandannya mau membiarkan dia membantu. Risyta bilang, setidaknya bisa sekalian membantu memasangkan alatnya.

Jadi, setiap tengah malam. Keduanya keluar menuju tempat latihan. Erwin belajar menggunakan Manuver Gear lagi untuk menyesuaikan dengan fisiknya yang sekarang. Lalu kembali saat fajar.

Keadaannya yang sudah tidak seperti dulu, mau tidak mau menyulitkannya dalam bergerak memakai ODM. Maka dari itu dia harus membiasakan diri, tidak boleh terlihat lemah di hadapan prajuritnya. Niatnya begitu, tapi mungkin Risyta menjadi pengecualian.

"Kau sulit sekali ditangani, Risyta." Erwin mendesah setelah minum, bajunya basah oleh keringat. Meski udara cukup dingin, berlatih Manuver Gear tetap membuatnya berkeringat. Mengingat berat alat dan kesulitan memakainya.

"Kali ini saja, Komandan. Anda akan kesulitan dan repot kalau berlatih sendiri, tenang saja kalau anda mau menyembunyikan sesi latihan ini, aku akan tutup mulut." Risyta membuat gestur mengunci bibir.

Yang dibalas gelengan kepala oleh Erwin, mungkin pria itu menyerah pada betapa keras kepalanya Risyta.

"Omong-omong, apa itu masih sakit?" Suaranya yang berubah lembut dan prihatin membuat Erwin lengah sesaat.

Lalu menyentuh lengan kanannya yang kosong. "Baik-baik saja."

Dia lalu mengulurkan tangan untuk menepuk pucuk kepala gadis yang telah merawatnya, hampir sebulan penuh. "Terimakasih, kau merawat Komandanmu dengan baik, Prajurit Risyta."

Di perlukan dua menit untuk Risyta tersadar, kemudian nyengir. "Hehe, siap, Komandan Erwin Smith!" Meletakan kepalan tangan di dada kiri.

Erwin bilang dirinya baik-baik saja, sudah menerima keadaan yang terjadi.

Namun, Risyta tahu Erwin berbohong. Pria ini selalu berbohong.

Tentu saja. Itu karena Risyta bukan hanya tahu kebohongannya, melainkan sisi rapuh Sang Komandan.

Itu terjadi saat Erwin masih di rumah sakit. Risyta pernah menyelinap masuk ke kamar rawatnya, hanya untuk memastikan Erwin aman. Entah kenapa dia terus-terusan gelisah, setelah mengetahui ada kemungkinan Erwin akan mati. Sialnya, dia tidak tahu kapan kematian itu tiba.

Begitu dia ada di dalam, Risyta melihatnya. Erwin yang gelisah, merintih dan berkeringat dalam tidurnya. Mulanya dia ingin bergegas mendekat, tetapi urung. Sebaliknya Risyta menutup pintu kamar, berdiri di luar. Telinganya mendengar derit ranjang, saat Erwin bangun dengan napas memburu juga geraman tertahan. Terdengar seperti keputusasaan dan kemarahan.

Pilihannya tepat, jika tadi dia nekat mendekat dan Erwin bangun, lalu melihat dirinya ada di sana. Risyta mungkin akan melukai harga diri Sang Komandan.

Bukan hanya itu, setelah Erwin keluar dari rumah sakit pun. Dia masih melihat kebohongan lain.

Di beberapa kesempatan, Risyta kerap melihat Erwin tanpa sadar memegangi sebelah tangannya yang hilang. Entah karena masih sedikit sakit atau merasa kehilangan.

Dia bahkan pernah secara tak sengaja--saat mengantarkan makan malam dan Erwin berada di kamar mandi dengan pintu setengah terbuka--melihat Erwin berlutut seraya mencengkram lengan kanan dan menggeram marah. Risyta kembali pura-pura tidak tahu, mundur keluar sambil membawa nampan makanan. Dia menunggu sebentar di luar, lalu mengetuk pintu lebih keras dari sebelumnya. Agar Erwin menyadari kedatangannya.

Keluar Jalur || ERWINXREADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang