TAKDIR

6 2 0
                                    

H-1 menuju pernikahan membuatku semakin berdetak gugup. Segala pemikiran selalu terbayang dikepalaku, seperti selalu melayang mengintari setiap sudut tubuhku. Sampai ibu harus tangan untuk menenangkan kegugupanku yang sekali-kali kambuh tidak tahu tempat dan waktu.

Segala doa selalu ku panjatkan, mulai dari doa semoga diperlancar, dipermudah, dan diberikan jalan yang sebaik-baiknya. Karena menurutku hanya kepada Allah lah aku bisa menuangkan segala sesuatu yang harus aku lewati, dan setelah menikah nanti aku jadi punya 2 tempat untuk bercurhat.

Ibu, putri kesayanganmu akan melepaskan masa jomblonya nih doain yaa ibu. Tentu rasa sedih sering berdatangan dikala aku mengingat kembali perjuangan ibu untuk mengurusku sampai saat ini. Mau bagaimanapun jasanya takan bisa aku balas bahkan dengan seisi dunia sekalipun.

Untuk menghilangkan rasa gugup, ku putuskan untuk meminta izin kepada ibu agar membolehkan ku pergi ke perpustakaan favoritku. Meskipun awalnya ibu tidak memberikan izinnya, namun melihat wajah putrinya yang semata wayang ini ia merubah keputusannya, dan semoga keputusan ini tidak menjadi keputusan yang membuatnya menyesal. Butuh banyak pertimbangan bagi ibu untuk mengizinkan ku pergi ke perpustakaan dihari h-1 menuju pernikahan. Tapi ibu selalu memiliki pemikiran yang baik dan berhusnudzon kepada Allah.

Dengan lepas hati ia mengizinkanku dengan syarat tidak boleh berlama-lama, lagi pula aku hanya memenangkan tubuhku disana sekejap sembari menuliskan sajak yang belum usai ku ketik. Menulis mampu membuatku sedikit tenang, karena untaian kata yang terlewat dipikiranku sejenak menghilang perasaan buruk yang selalu menghampiriku.

Pukul 14.00 WIB, ku langkahkan kakiku menuju pintu keluar perpustakaan. Aku akan pulang, karena amanat ibu tidak boleh berlama-lama. Jarak rumah dengan perpustakaan cukup jauh, butuh waktu 30 menit untuk menjangkaunya menggunakan angkutan umum. Namun saat itu aku tumbenan memilih memakai sepeda motor, sebenarnya sudah lama aku bisa mengendarai sepeda motor. Namun ibu selalu mengoceh jika aku ingin menggunakannya, dengan alasan "takut kamu belum lihai membawanya Aish."

Roda berputar menghantarkan tubuhku menuju rumah, semuanya baik-baik saja karena aku selalu berhusnudzon kepada Allah. Aku hanya harus berhati-hati, dan teliti disetiap jalannya. Aku yakin pasti Allah menjagaku.

Sudah pukul 15.00 WIB, Aisyah belum saja mendaratkan tubuhnya dirumah. Ibu yang mengetahui itu bergegas menghubungi Putri semata wayangnya itu, karena ia sadar ini sudah melewati batas waktu yang sudah ditentukan. Rasa cemas mulai menyerang pikiran ibu, saat telepon yang ibu lontarkan untuk Aisyah tidak ada jawaban sama sekali. Perlu menelpon 25 kali sampai handphone Aisyah akhirnya menjawab panggilan ibu.

"Aisyahhhh kamu dimana?" Tanpa basa-basi ibu langsung menanyakan posisi putrinya itu. "Maaf Bu, anak ibu sedang kritis dirumah sakit Bhayangkara karena terjadi kecelakaan dijalan raya tadi, tolong segera kemari Bu, ia terus-menerus menyebut nama ibu dan Hafidz."

Kabar itu sedikit menggoyahkan hati ibu, apakah Allah telah mengkhianati kepercayaannya? Tentu tidak, ini adalah takdir. Kata istighfar ibu sematkan dalam-dalam untuk menegaskan kembali hatinya kepada Allah, doa tak lupa ia panjatkan disepanjang jalan menuju rumah sakit bersama Hafidz. Wajah pucat dan panik sangat terlihat jelas dibalik layar sang ibu dan Hafidz. Ibu yang tidak ingin kehilangan Putri semata wayangnya, dan Hafidz yang belum mampu kehilangan calon istrinya.

Langkah tergesa-gesa ibu pasang dalam perjalanannya menyusuri lorong rumah sakit, diikuti Hafidz dibelakangnya. Ibu ingin segera mengetahui keadaan putrinya, bahkan Hafidz harus memecahkan rencana untuk tidak bertemu nya sebelum acara nikah berlangsung.

"Aishhh." Dari kejauhan ibu sudah menyebutkan nama putrinya itu, air mata tak mampu lagi dibendungnya. Insan satu-satunya yang ibu miliki setelah kepergian suaminya kini tengah tergeletak kritis tak berdaya. Lukanya parah, ia mengalami pendarahan dikepalanya.

Perlahan ku buka pandangan mata yang sudah tak mampu lagi melihat, samar-samar terlihat wajah bidadari yang selama ini selalu menjadi suport system untukku. Dan wajah tampan calon suamiku dibelakang ibu membuatku tersenyum tipis sembari menahan sakit yang terus mendegung didasar kepalaku.

Banyak kata yang ingin ku sampaikan kepada kedua insan dihadapanku. Apalah daya rasa sakit ini menyerang semua syarafku dan mematikan sistem yang mampu membuatku berbicara. Hanya tangisan yang mampu ku keluarkan, semoga dengan tangisan ini ibu dan Hafidz mampu mengerti pesan yang ingin ku sampaikan.

Ibu, Ka Hafidz, maafin Aish yaa..

Seakan pasrah dengan keadaan, hanya batin yang mampu berbicara namun apa daya mereka bukan orang yang mampu mengerti pesan yang ada didalam batinku, aku cukup mengerti itu. Hanya satu insan yang mampu mengerti semua keinginanku saat ini, Allah subhanallahu wata'ala. Doa tak henti ku panjatkan, aku tak minta lebih. Jika memang aku diizinkan kembali untuk menatap matahari, maka aku akan jalani kehidupan itu. Tapi, jika Allah memilih mengambil nyawaku, aku akan ikhlaskan semuanya tapi dengan syarat aku bisa memeluk ibu untuk terakhir kalinya.

Sekejap Allah memberikan pilihannya kepadaku, tubuh yang tergeletak seketika terbangun sendiri nya kedua tanganku mengangkat seakan pertanda kepada ibu untuk memelukku. Ternyata Allah memilihku untuk pergi dari dunia ini, namun aku senang karena permintaan trakhirku telah ia kabulkan.

Tak kulewatkan kesempatan itu, ini untuk yang terakhir ibu, aku ingin selalu memelukmu seperti ini. Kaulah bidadariku ibu, kaulah malaikat penyelamatku, aku berterima kasih ibu, aku sangat berterima kasih kepadamu. Ka Hafidz, maafin Aish belum bisa jadi calon istri Ka Hafidz yahh, Allah lebih sayang aku dibanding Ka Hafidz. Semoga Allah berikan pengganti yang lebih baik untuk Abang. Ya Abang, kata yang selalu aku siapkan saat aku usai menikah dengan Ka Hafidz nanti. Aku ingin memanggilnya Abang, itu yang aku inginkan dan sekarang aku telah menggunakannya walaupun hanya dalam batin..

Keinginan kita belum tentu menjadi keputusan Allah subhanallahu wata'ala. Semua yang telah terjadi, menjadi bukti bahwa Allah memang benar adanya. Kita manusia, hanya harus menerima semua kemungkinan yang terjadi dengan terus memberikan kepercayaan sepenuh hati untuk insan yang menciptakan semua hal yang ada di dunia ini.

Terima kasih Ibu, terimakasih Kribo, terimakasih Azis, terima kasih Lala, terima kasih Ka Hafidz, terima kasih dunia..aku pamit....

Piiiippp....

Sinyal mesin menandakan nafas yang tak lagi berdetak, tubuhku berhenti mengalirkan oksigennya. Masih dengan keadaan memeluk ibu, aku menghembuskan nafas terakhir ku sembari menatap wajah tampan Abang Hafidz untuk yang terakhir kalinya. Dan kali ini dengan senyuman.

-End-

Assalamualaikum teman-teman, ceritanyaa berakhir sampai disini ya. Cerita ini semoga menjadi pengingat untuk kita semua, bahwa semuanya yang kita inginkan bukan berarti bisa kita dapatkan. Terimakasih kepada teman-teman semua yang sudah membaca, semoga kita selalu dalam lindungannya Allah subhanallahu wata'ala. Aamiin...

Maaf jika masih terdapat banyak kesalahan dalam penulisan baik jalan ceritanya..

Pantau terus karya aku yang selanjutnya yaa jazakumullah teman-teman babayyy💫🥰

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 08, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Aisyah Habibah  [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang